Hafal Al-Quran di Usia Belia

Breaking News

  • Kunjungan Gubernur Sumbar ke Sekolah Semut-Semut

    Kunjungan Gubernur Sumatera Barat terpilih, H Mahyeldi Ansharullah ke Sekolah Komunitas Semut-Semut Payakumbuh, Sabtu (6/2/2021) membicarakan tentang konsep dan kurikulum sekolah Islam.

  • Menjadikan Balita Hafal 1 Juz dalam 4 Bulan

    Tahfidz Anak Usia Dini (TAUD) Sekolah Semut-Semut Payakumbuh membuktikan keberhasilan metode talqin untuk menghafal Al-Quran. Dalam acara haflah Laporan Akhir Semester, Senin (14/12/2020) lalu, para balita ini telah hafal juz 30 hanya dalam 4 bulan.

  • Kunjungan Kakek KH Tengku Zulkarnain ke Sekolah Semut-Semut

    Da'i Nasional yang juga Wasekjen MUI Pusat, KH Tengku Zulkarnain bertandang ke kampus Sekolah Semut-Semut Payakumbuh, Ahad (6/9/2020). Kepada wali murid, Dai Nasional tersebut berpesan agar terus membersamai anak-anak mereka menghafal Al-Quran sampai khatam 30 juz.

  • Mantan Rocker Derry Sulaiman Konser di Depan Murid Semut-Semut

    Da'i yang juga mantan rocker Ustadz Derry Sulaiman menyempatkan untuk hadir di Sekolah Semut-Semut Payakumbuh Ahad (18/10/2020). Di hadapan wali murid, Ustadz Derry bercerita bahwa ini pengalaman pertamanya 'manggung' dihadapan anak-anak balita.

  • Rihlah Keluarga Besar Sekolah Semut-Semut

    Keunggulan sekolah komunitas dilihat dari kekompakan para wali muridnya. Sebagaimana terlihat dalam rihlah di Obyek Wisata Syari'ah Torang Saribulan, Ahad (27/9/2020).

Muhasabah Kemerdekaan ke-80

Di tengah panas yang membakar siang Madinah, seorang lelaki berkulit gelap dari Mesir berdiri di depan rumah seorang khalifah. Di sampingnya seorang remaja — anaknya sendiri — memegangi punggungnya yang memar. Bekas cambuk itu masih merah, dan di balik warna itu, ada rasa yang lebih perih: harga dirinya diinjak.

Lelaki itu seorang Qibti, penduduk asli Mesir. Ia bukan datang untuk meminta sedekah atau bantuan pangan. Ia datang menuntut sesuatu yang lebih berharga dari emas: keadilan.

Kisah ini, meski sanad sejarahnya tak bisa dikategorikan tsabitah atau sahih mutlak, telah lama beredar di mimbar-mimbar. Bukan karena semua detailnya terverifikasi, tapi karena nilainya tegak lurus dengan prinsip Islam. Ia bukan sekadar kisah, tapi tamparan bagi penguasa yang lupa batas kuasanya.


Dari Lintasan Pacu Kuda ke Mimbar Keadilan

Di Mesir saat itu, sebuah pacuan kuda (asibaq) digelar. Putra gubernur Mesir, Muhammad bin Amru bin al-‘Ash, ikut serta, berhadapan dengan seorang pemuda Qibti. Lintasan berdebu itu menjadi saksi ketika kuda Qibti melesat lebih cepat, meninggalkan kuda sang pangeran.

Kekalahan itu tidak ia terima. Dalam amarah yang membutakan, ia mengayunkan cambuk kudanya — cetak! — mendarat di punggung lawannya. Alasannya sederhana: ia anak gubernur. Dan dalam pikirannya, itu memberinya hak untuk berlaku sewenang-wenang.

Sang ayah Qibti marah, tetapi ia tahu, melawan anak gubernur di Mesir sama saja melawan kekuasaan. Maka ia memutuskan berjalan jauh — dari Mesir ke Madinah — untuk mengadu kepada Amirul Mukminin, Umar bin Khattab.


Surat Pemanggilan Sang Gubernur

Umar mendengar kisah itu. Sorot matanya yang tajam menandakan keputusan bulat: Amru bin al-‘Ash dan putranya harus datang ke Madinah. Tidak ada kekuasaan yang cukup besar untuk menghalangi panggilan seorang khalifah yang adil.

Di hadapan Umar, saksi-saksi berbicara. Fakta terungkap. Umar lalu memberikan cambuk itu kepada pemuda Qibti.

“Jarridhu min tsiyabihi wadhribhu kama dharabak” katanya, “lepaskan pakaiannya dan pukullah ia sebagaimana ia memukulmu”

Cambuk itu mendarat. Suara yang terdengar bukan hanya cambuk mengenai kulit, tapi denting keadilan yang menembus ruang. Umar melanjutkan, “Kalau engkau ingin memukul ayahnya, Amru bin al-‘Ash, aku tidak akan menghalangimu. Karena putranya berani memukulmu hanya karena kekuasaan bapaknya.”

Amru bin al-‘Ash menunduk. Lalu Umar, dengan suaranya yang tegas namun penuh makna, mengucapkan kalimat yang melintasi zaman:

متى استعبدتم الناس وقد ولدتهم أمهاتهم أحرارًا

“Sejak kapan kalian memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka?”

Kata-kata ini, bagi Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa — Ketua Umum MUI Sumatera Barat — adalah inti dari kemerdekaan hakiki.


Kemerdekaan: Hak dari Langit

Bulan Agustus di Indonesia selalu penuh dengan kata “merdeka”. Dari pidato kenegaraan hingga lomba balap karung, dari spanduk merah putih hingga lagu perjuangan di sekolah-sekolah. Tapi Buya mengingatkan: kemerdekaan sejati bukan hadiah manusia, melainkan hak bawaan yang diberikan Allah sejak awal penciptaan.

“Laqad karramna bani Adam,” begitu firman Allah. Dia memuliakan anak cucu Adam, dan kemerdekaan adalah bagian dari kemuliaan itu. Tidak ada kemerdekaan tanpa kemuliaan, dan tidak ada kemuliaan tanpa kemerdekaan.

Maka siapa pun yang merampas kemerdekaan orang lain, sesungguhnya sedang menentang keputusan Allah. Inilah mengapa, menurut Buya, perjuangan kemerdekaan adalah perjuangan menegakkan hak asasi yang ditetapkan langsung oleh Pencipta.

Namun, penjajahan tak selalu datang dari luar. Ada penjajahan yang lebih licik: lahir dari bangsa sendiri, berbicara dengan bahasa kita, bahkan menyanyi lagu kebangsaan yang sama. Penjajahan ini bisa berbentuk kekuasaan yang memihak, hukum yang timpang, atau kebijakan yang mematikan kebebasan beribadah.


Merdeka di Ranah Minang: Perjuangan Berbeda

Di banyak daerah di Nusantara, perlawanan terhadap penjajah dimotori oleh raja-raja yang mempertahankan tahta. Di Minangkabau, justru para ulama yang pertama kali memanggul senjata. Mereka bukan pemilik istana, bukan bangsawan. Mereka adalah manusia yang sadar bahwa mereka hanya boleh menjadi hamba Allah.

Sejarah mencatat, ada penguasa Minangkabau yang justru menyerahkan sebagian wilayah kepada Inggris dan Belanda demi kepentingan politik. Tetapi ulama-ulama menolak tunduk.

Bagi mereka, tanah ulayat bukan milik pribadi atau nenek moyang semata. Ia adalah amanah dari Allah. Tugas manusia hanyalah menjaga, bukan menjual. Inilah yang membuat perjuangan orang Minang bukan sekadar perjuangan politik, melainkan perjuangan nilai.

Buya mengingatkan, kemerdekaan yang dicita-citakan orang Minang adalah kemerdekaan hakiki: bebas dalam beribadah, bebas menegakkan tauhid, bebas mendidik anak cucu dalam iman, tanpa intimidasi dari siapapun.


Penjajahan Gaya Baru

Buya juga mengkritik penjajahan bentuk baru: manusia yang “mempertuhankan” jabatan, harta, atau pujian. Mereka mengaku merdeka, padahal hatinya terikat oleh dunia.

“Merdeka itu,” katanya, “adalah ketika kita hanya menjadi hamba Allah. Kalau kita masih diperbudak oleh selain-Nya, itu bukan kemerdekaan, itu ilusi.”

Dan di sinilah peringatan kemerdekaan sering gagal. Ia menjadi seremoni tahunan yang meriah, tapi hampa. Di balik sorak lomba panjat pinang, ada rakyat yang haknya dirampas. Di balik parade bendera, ada hati yang terjajah oleh kepentingan.


Merdeka yang Diwariskan Ulama

Di akhir khutbahnya, Buya menutup dengan nada yang tenang namun tegas:

“Kalau ada yang menuduh orang Minang mabuk agama, terlalu berlebihan mempertahankan nilai, biarlah. Karena nenek moyang kami memang berjuang bukan demi tahta atau emas, tapi demi memastikan kami merdeka dalam tauhid.”

Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar
Ketum MUI Sumbar

Kisah Umar bin Khattab dan pemuda Qibti yang dulu hanya terdengar sebagai riwayat kini hidup kembali di Ranah Minang. Ia bukan hanya pengingat masa lalu, tapi kompas untuk masa depan: bahwa merdeka adalah ketika cambuk tak lagi diayunkan sewenang-wenang, ketika hati tak lagi diperbudak dunia, dan ketika sujud hanya untuk Allah semata.

Share:

Apakah Penghafal Al-Qur'an juga akan ada yg gagal?


Ahli Qur'an adalah makhluk pilihan Allah SWT. Siapa yg dipilih Allah, sepenuhnya berdasarkan kehendak dan ketetapan Allah. Yang bisa kita lakukan hanyalah *memantaskan diri* agar dipilih Allah menjadi orang yang disebut sebagai keluarga-Nya di bumi.

Allah SWT berfirman,

ثُمَّ أَوۡرَثۡنَا ٱلۡكِتَـٰبَ ٱلَّذِینَ ٱصۡطَفَیۡنَا مِنۡ عِبَادِنَاۖ فَمِنۡهُمۡ ظَالِمࣱ لِّنَفۡسِهِۦ وَمِنۡهُم مُّقۡتَصِدࣱ وَمِنۡهُمۡ سَابِقُۢ بِٱلۡخَیۡرَ ٰ⁠تِ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ ذَ ٰ⁠لِكَ هُوَ ٱلۡفَضۡلُ ٱلۡكَبِیرُ فاطر:٣٢

"Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar." (QS. Fathir: 32).

Jadi akan beragam kondisi orang yang diwariskan (belajar) Al-Qur'an. Ada yang zhalim pada diri sendiri, ada yg pertengahan, ada yg bersegera pada kebaikan (fastabiqul khairat). Jadi, termasuk yang manakah kita?

Kita berdoa, semoga kita termasuk _sabiquna bil khairat_ yang disebut ayat ini. Dan semoga ujungnya nanti kita mendapatkan karunia yang besar dari setiap kebaikan-kebaikan yang membersamai langkah perjuangan kita untuk memantaskan diri agar dipilih Allah.

Share:

Kisah Telaga di Tengah Kampung


Alkisah, tersebutlah satu kampung yang berada di tengah gurun pasir yang sangat luas. Di kampung tersebut terdapat satu telaga. Airnya tak pernah habis walau musim berputar dan tahun berganti. Warga kampung tentunya sangat bergantung pada telaga yang menjadi satu-satunya sumber air di kampung tersebut.

Berbagai kisah penduduk kampung dengan telaga tersebut patut kita simak. Dimulailah kisah pertama dari sekelompok orang kampung yang menganggap diri mereka kaum intelektual. Mereka punya pemikiran, bahwa sudah saatnya warga kampung tak perlu lagi bergantung kepada telaga. Mereka mengemukakan gagasan tentang penyulingan air kotor menjadi air yang bisa layak diminum kembali. Ah! air kotor itu, kalau dikaji-kaji kan asal muasalnya tetap saja dari telaga.

Namun teori ini pun ternyata diterima sebahagian warga kampung. Alasannya, karena teori mereka ini terkesan elit dan intelek. Lihat saja, presentasinya mengetengahkan model air kemasan di galon-galon bermerek, lengkap dengan takaran komposisinya. 

Selanjutnya, mereka ini secara tegas menyatakan tidak lagi memerlukan adanya telaga di kampung itu. Walaupun pada kesudahannya, orang-orang ini tetap saja kembali ke telaga. Apa susahnya bagi mereka yang tinggal datang dan menimba air, mereka sudah bisa merasakan kesegaran air telaganya. Tidak perlu riset, kajian bertahun-tahun menjalani try and error. Jelas, air telaga lebih praktis!

Kemudian, ada pula kisah sekelompok warga kampung yang ingin melabeli telaga tersebut sebagai telaga milik kaumnya. Yang bisa mengambil air hanya dari kelompoknya saja. Akhirnya, kelompok di luar mereka tentu menjadi segan jika ingin mengambil air dari telaga itu.

Akhirnya dibuatlah satu kesepakatan, bahwa telaga adalah milik bersama. Tidak boleh dikuasai satu pihak. Jangan dilabeli dia dengan merek apapun. Barulah, fungsi telaga bisa kembali dirasakan oleh seluruh penduduk kampung.

Kemudian, ada pula kisah sekelompok orang-orang ningrat di kampung itu. Walaupun mereka yang butuh air, tapi inginnya mereka, telaga itu yang datang ke rumah mereka. Hehee, ini tentu saja mustahil. Bagaimana mungkin mengangkut telaga sebesar itu untuk bisa dipetantang-petenteng kesana-kemari. Maka diberilah tulisan di plang telaga tersebut dengan bahasa Arab. العلم يؤتى ولا يأتي

Pada akhirnya, kondisi telaga tersebut akan terlihat dari bagaimana warga kampung merawatnya. Bagi warga kampung yang merasakan betapa penting dan vitalnya keberadaan telaga, maka mereka merawat tepian telaga sebaik-baiknya. Sehingga mereka pun kondusif dan nyaman ketika mengambil airnya. 

Namun ada juga masyarakat yang tak ambil pusing. Tepian telaga mereka pun dipenuhi semak tak terawat. Akhirnya mereka jua yang susah ketika butuh air dari telaga. Bahkan katanya sampai ada kasus. Saking tingginya semak di tepian telaga itu, maka bersaranglah ular sehingga beberapa orang diantara mereka menjadi korban dipatok ular.

Oh ya, satu lagi! Dari seluruh kisah telaga ini, ternyata ada kisah yang paling mengerikan. Itulah kisah sekelompok orang dengan kedengkiannya yang ingin menaburkan racun ke dalam telaga. Ironisnya, warga kampung malah acuh tak acuh saja. "Sudahlah, kita tak usah ikut-ikut. Ini bukan urusan kita," pikir mereka.

Jika orang-orang jahat ini berhasil meracuni telaga, kira-kira apakah masih bisa penduduk kampung tersebut meminum airnya? Bagaimanakah nasib kampung itu jika tanpa kehadiran sumber air dari telaga itu?

Untuk kita ketahui. Telaga itu adalah ulama. Air telaga itu adalah ilmu. Dan penduduk kampung itu adalah kita.

Bonai, 6/6/2023

Share:

Poster Cabul

Oleh; H. Hannan Putra, Lc, MA*

*Pembina Sekolah Komunitas TAUD Semut-Semut Payakumbuh, Wakil Pimpinan Pesantren ICBS Payakumbuh, Ketua MUI Payakumbuh Selatan

Ketika kami belajar bahasa Arab di pesantren dulu, ada pembahasan tentang al-Asma'u al-Khamsah "الأَسْمَاءُ الخَمْسَةُ" (kata benda yang lima). Maksudnya, ada lima isim (kata benda) yang pada akhirnya terdapat huruf ilat sebagai tanda i’rab. Lima huruf itu adalah; أَبُو – أَخُوْ – حَمُو – فُوْ – ذُوْ

Seiring bertambahnya usia dan bobot pelajaran, belakangan kami baru tahu bahwa isim tersebut sebenarnya ada enam. Sebagaimana diterangkan dalam kitab Alfiyah Ibnu Malik, ada satu isim yang ternyata selama ini tidak disebut, yaitu هن. Jadi, isim itu bukan lagi khamsah (lima), tapi ada sittah (enam).

Pertanyaannya, mengapa هن tidak diajarkan saja sejak dari awal pembelajaran Bahasa Arab? Toh hanya menambah satu kata saja, bukan? Apa repotnya?

Dengan penuh hikmah, guru bahasa Arab kami pun menjelaskan. هن artinya (maaf) "kemaluan". Ketika diajarkan di usia kami yang masih belia, dikhawatirkan para santri akan menggunakan kata tersebut untuk kalimat yang tidak baik. Maka ditunda untuk mengajarkannya sampai para santri dewasa. Itupun, kata هن hanya diartikan "anu".

Lihatlah, betapa pola pendidikan Islam penuh dengan hikmah. Bahwa ilmu itu terintegrasi dan berimplikasi kepada akhlak. Kaidahnya, ilmu yang mulia juga harus disampaikan dengan bahasa yang mulia pula. Hal yang tabu dan memalukan jika terdengar kalimat-kalimat jorok dan cabul dalam lingkungan pendidikan Islam.

Hal yang sama juga kami dapati ketika belajar fiqh. Dari dahulu saya selalu menentang istilah jahiliyah yang mengatakan "fiqh bat*lanjang". Bahwa penggunakan bahasa yang vulgar, katanya, tidak bisa dihindari dalam pembahasan fiqh. Konyol saja ketika menyimak argumentasi mereka. Anda belum tahu saja. Coba datanglah ke pesantren kami. Kami bisa menyajikan pembahasan fiqh tanpa perlu menggunakan bahasa yang vulgar itu.

Bayangkan saja, ketika tumbuh di lingkungan pesantren, mendirikan pesantren, dan sekarang mengasuh pesantren. Maka menjadi hal yang mencengangkan dan memalukan bagi kami sebagai anak pesantren melihat demonstrasi yang dilaksanakan mahasiswa baru-baru ini. Saya tidak mengkritik esensi demonya, tapi bahasa yang ditampilkan mereka di poster-poster itu. 

Jujur saja, saya yang membacanya saja risih. Apa mereka yang menulis dan memamerkan poster-poster itu tidak malu, ya? Bahkan poster-poster cabul itu dengan bangganya diusung oleh gadis-gadis berhijab. Pertanyaan selanjutnya, sebegitu bobrok-kah kualitas pendidikan kita hari ini?

Share:

Perjuangan Para ibu Single Parent

Oleh, H. Hannan Putra, Lc, MA

Sekum MUI Kota Payakumbuh, Wakil Pimpinan Pesantren ICBS, Pembina Sekolah Komunitas Semut-Semut Payakumbuh

Saya sering ditanya ketika memberikan kajian parenting. Apakah pendidikan anak bisa berhasil jika tanpa kehadiran ayah? Apakah para ibu single parent masih punya harapan untuk melihat anak-anaknya berhasil? Mengingat saking pentingnya peran ayah dalam pendidikan, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Qayyim rahimahullah,

وأكثر الأولاد إنما جاء فسادهم من قبل الآباء ، وإهمالهم لهم وترك تعليمهم

"Potensi terbesar kerusakan anak kebanyakan berasal dari para ayah yang mengabaikan pendidikan anak-anaknya." Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maulud 1/229.

Memang perjuangan paling berat para ibu ketika harus membesarkan anaknya sendiri. Tapi jika ia berhasil dan sabar untuk menghadapi perjuangan berat itu, insya Allah usaha keras mereka akan berbuah manis.

Dalam banyak kisah keluarga dalam Al-Quran bisa kita tarik kesimpulan. Jika satu keluarga yang rusak adalah suami, maka si anak masih ada harapan untuk berhasil. Lihatlah kisah sang istri Siti Aisyiyah yang bersuamikan Fir'aun. Anaknya, Musa bahkan menjadi salah seorang Nabi ulul 'azmi.

Demikian juga Maryam, wanita pilihan dan mulia dengan kesuciannya. Maryam membesarkan putranya Isa, yang kelak juga akan menjadi seorang Nabi Ulul 'Azmi. Bahkan, Maryam sebagai salah satu diantara 4 wanita terbaik sepanjang masa juga tumbuh besar dari pendidikan seorang ibu yang single parent. Sang ibu, Siti Hana membesarkan putrinya seorang diri karena suaminya Imran sudah meninggal dunia. 

Jadi, ada banyak kisah para ibu single parent dalam Al-Quran yang bisa kita jadikan inspirasi. Ada yang single parent disebabkan karena si suami kufur, meninggal, atau terpisah dalam waktu yang sangat lama. Katakanlah keluarga Nabi Ibrahim AS yang pernah berpisah dengan anak istrinya dalam waktu sangat lama. Ia diperintahkan Allah menuju Palestina sesaat setelah Istrinya bersalin. Ketika ia pulang ke Makkah, anak yang dahulu masih merah ditinggalkannya kini sudah tumbuh menjadi anak-anak.

Keluarga Ibrahim disebut al-Quran sebagai salah satu keluarga terbaik dalam Al-Qur'an. Bahkan sampai-sampai Nabi Muhammad SAW meminta agar Allah SWT memberkahi keluarganya sebagaimana keluarga Ibrahim diberkahi. Firman Allah SWT,

اِنَّ اللّٰهَ اصۡطَفٰۤى اٰدَمَ وَنُوۡحًا وَّاٰلَ اِبۡرٰهِيۡمَ وَاٰلَ عِمۡرٰنَ عَلَى الۡعٰلَمِيۡنَۙ

"Sesungguhnya Allah telah memilih Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim sekeluarga, dan Imran sekeluarga dari seluruh alam." (QS Ali Imran: 33).

Para ummahat rahimakunnallah.

Akan berbeda kondisinya jika dalam keluarga tersebut yang rusak adalah istri. Kesimpulan saya, pendidikan anak sudah sangat susah untuk diselamatkan. Allah SWT memberikannya perumpamaan dalam Al-Quran,

ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ٱمْرَأَتَ نُوحٍ وَٱمْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَٰلِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ ٱللَّهِ شَيْـًٔا وَقِيلَ ٱدْخُلَا ٱلنَّارَ مَعَ ٱلدَّٰخِلِينَ 

"Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami. Lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah. Dan dikatakan (kepada keduanya), "Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)". (QS at-Tahrim: 10).

Istri Nuh dan Istri Luth sama-sama bersuamikan orang shaleh. Ketika kedua istri tersebut rusak, maka anak-anak mereka juga tidak selamat. Sebagaimana anak Nabi Nuh yang dikisahkan Al-Quran,

وَهِىَ تَجۡرِىۡ بِهِمۡ فِىۡ مَوۡجٍ كَالۡجِبَالِ وَنَادٰى نُوۡحُ اۨبۡنَهٗ وَكَانَ فِىۡ مَعۡزِلٍ يّٰبُنَىَّ ارۡكَبْ مَّعَنَا وَلَا تَكُنۡ مَّعَ الۡكٰفِرِيۡنَ‏ قَالَ سَاٰوِىۡۤ اِلٰى جَبَلٍ يَّعۡصِمُنِىۡ مِنَ الۡمَآءِ‌ؕ قَالَ لَا عَاصِمَ الۡيَوۡمَ مِنۡ اَمۡرِ اللّٰهِ اِلَّا مَنۡ رَّحِمَ‌ۚ وَحَالَ بَيۡنَهُمَا الۡمَوۡجُ فَكَانَ مِنَ الۡمُغۡرَقِيۡنَ‏

"Dan kapal itu berlayar membawa mereka ke dalam gelombang laksana gunung-gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, ketika dia (anak itu) berada di tempat yang jauh terpencil, "Wahai anakku! Naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir. Dia (anaknya) menjawab, "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah!" (Nuh) berkata, "Tidak ada yang melindungi dari siksaan Allah pada hari ini selain Allah yang Maha Penyayang." Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka dia (anak itu) termasuk orang yang ditenggelamkan." (QS Hud: 42-43).

Betapa susahnya bagi Nabi Nuh untuk menyelamatkan anaknya, walaupun akhirnya si anak tak juga dapat diselamatkan. Bahkan ketika azab sudah di depan mata sekalipun, si anak tetap kukuh tak mau mendengarkan sang bapak. Inilah potret yang juga banyak kita temukan hari ini.

Para ummahat rahimakunnallah.

Para ibu sebagai madrasatul ula (sekolah pertama) bagi anaknya menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan anak. Ketika ibu sudah rusak, maka rusaklah anak-anaknya. Namun ketika ibu baik, insya Allah anak-anaknya berpeluang untuk menjadi baik kendatipun tanpa peran dari ayah.

Lihatlah bagaimana perjuangan para ibu dari orang-orang besar di dunia. Seperti perjuangan Ibunya Imam asy-Syafii. Sang ibu hanyalah seorang janda sangat miskin yang tinggal di Gaza Palestina. Namun sang ibu hebat ini tidak menjadikan ekonomi dan kondisinya sebagai alasan untuk membiarkan anaknya gagal. Si ibu rela melakukan perjalanan ribuan kilometer dari Palestina menuju Hijaz (Makkah dan Madinah) demi pendidikan anaknya.

Ia tau harus berbuat apa untuk anaknya. Yaitu menitipkan pendidikan anaknya kepada orang shaleh. Jika hari ini misalkan dengan mencari pesantren atau sekolah agama terbaik untuk anaknya. Karena memang soal pintar dan shaleh bukanlah milik prerogatif orang kaya saja.

Perjuagannya belum berakhir ketika sudah sampai di Hijaz. Ternyata ia mesti berjuang lagi ketika sang anak ditolak untuk masuk sekolahnya Imam Malik di Madinah. Ia pun sampai harus menemui amir (Gubernur) Makkah agar diberi rekomendasi untuk masuk sekolah Imam Malik. Bayangkan saja, melintasi gurun pasir sejauh 500 Km pulang pergi dari Makkah ke Madinah hanya agar anaknya diterima bersekolah bersama Imam Malik. Tentu saja, waktu itu belum ada pesawat, bus, atau kereta cepat.

Suatu ketika, sang anak datang memeluk ibunya. Syafi'i kecil mengadu, bahwa ia tak bisa masuk kelas karena di kelas tersebut terbatas untuk orang-orang kaya saja. Mereka sangat miskin untuk bisa membayar uang sekolah.

Sang ibu tak pernah kehabisan akal. "Gampang itu, nak. Kamu duduk saja di luar kelas. Suara gurumu kan bisa engkau dengar walaupun duduk di luar, kan?" Akhirnya Syafi'i kecil pun duduk di luar dan tetap dapat mengikuti pelajaran.

Apapun masalah pendidikan ternyata bisa diselesaikan jika memang ada keinginan. Subhanallah! kita yang hari ini hidup dizaman serba bergelimangan sarana prasarana. Ada internet, kelas gratis, dsb. Tapi rumit sekali bagi kita hari ini menuntut ilmu.

Suatu ketika, di kelas imam Syaf'i tidak kedatangan guru. Para murid di kelas kebingungan. Akhirnya mereka meminta seorang anak yang mengikuti pelajaran di luar kelas untuk menjelaskan pelajaran. Si anak miskin itulah yang menjadi asisten dosen dan membantu teman-temannya memahami pelajaran. Itulah Syafi'i kecil yang kelak akan menjadi imam besar.

Para ummahat rahimakunnallah.

Lihat pula seorang imam besar yang berguru kepada Imam Syafi'i. Ia adalah Imam Ahmad bin Hanbal Rahmatullahu 'alaihi yang konon kabarnya memiliki hafalan hadist terbanyak yakni 1 juta hadist. Ia pernah bertutur,

حفظني أمي القران و انا ابن عشر سنين. و كانت توقظني قبل صلاة الفجر و تحمي لي ماء الوضوء فى ليالي بغداد الباردة، و تلبسني ملابسي ثم تتخمر و تتغطي بحجابها و تذهب معي إلى المسجد لبعد بيتنا عن المسجد..

"Ibuku sudah menjadikan aku hafal Al-Quran saat usiaku masih 10 tahun. Ia selalu membangunkanku sebelum shalat subuh dan memanaskan air untuk aku berwudhu, karena malam-malam kota Baghdad yang sangat dingin. Ia lalu memakaikan pakaianku. Kemudian ia memakai khimar/ cadar dan hijabnya untuk mengantarkanku ke masjid karena jarak rumah kami yang sangat jauh dari masjid."

Manakah ibu yang hari ini menghafalkan anak-anaknya Al-Quran sehingga bisa khatam di usia 10 tahun? Manakah ibu yang hari ini setiap hari mengantarkan anaknya shalat subuh ke masjid? Manakah ibu yang seperti itu hari ini? Lantas kita berharap akan muncul keajaiban bahwa anak-anak kita akan bisa seperti imam Ahmad bin Hanbal?

Share:

Belajar dan Bermain (Part1)

Oleh H. Hannan Putra, Lc, MA Pembina Sekolah Komunitas Semut-Semut Payakumbuh

"Tidaklah redup peradaban Islam melainkan setelah bersinarnya para artis." Dr Tariq Suwaidan, al-Andalus at-Taarikh al-Mushawwar.

Pakar sejarah Islam asal Kuwait, Dr Tariq Suwaidan menjelaskan kepada kita tentang faktor jatuhnya peradaban Islam. Yakni, ketika dunia hiburan mengambil alih dunia pendidikan, dan para artis menggantikan posisi para ulama.

Lebih lanjut beliau yang juga seorang pengusaha kaya di Kuwait itu mengisahkan tentang Andalusia kepada kita. Andalusia yang menjadi cikal bakal majunya peradaban Eropa pernah delapan Abad bersinar pada masa keemasan Islam. 

Sinar negeri Andalusia menjadi redup setelah datangnya artis Az-Ziryat dengan model hiburannya. Setelah itu mulailah masjid-masjid ditinggalkan. Para pemuda dan pelajar dilenakan dengan hiburan hingga mereka menjadi malas berfikir dan mengasah otaknya.

Mari kita perhatikan pola belajar anak-anak di zaman Nabi hingga masa-masa keemasan Islam itu. Kita akan dapati satu konsep, bahwa hiburan tidak pernah bisa digabung dengan majelis Ilmu. Kurikulum kita memisahkan dua hal ini. Antara belajar dan hiburan. Ada saatnya mengaji, ada saatnya hiburan. Jelas saja dunia pendidikan Islam akan menentang slogan "bermain sambil belajar dan belajar sambil bermain".

Model pendidikan ini dipegang erat pada masa kejayaan peradaban Islam. Belajar itu serius. Nanti ada saatnya bermain. Tapi tidak ketika sedang belajar. Hingga tibalah model pendidikan dari Barat meracuni sekolah-sekolah Islam. Konsep Islam yang telah berabad-abad diterapkan itu digantikan oleh Maria Montessori dengan konsep fun learningnya. Habislah marwah kalangan ahli ilmu setelah itu.

Pernahkah kita bertanya tentang cita-cita kepada anak-anak sekarang? Ada degradasi dan disorientasi tentang cita-cita pada mereka. Saksikanlah, betapa mencengangkan jawaban mereka. Ada yang menjawab ingin menjadi selebgram, youtuber, atau influencer. Singkatnya, mereka ingin jadi artis, terkenal, dan memiliki banyak follower.

Betapa dunia hiburan saat ini telah merontokkan generasi masa depan kita. Ketika artis lebih mereka kenal dari ulama atau tokoh-tokoh agama. Coba saja tanya kepada mereka tentang beberapa nama artis. Dengan cepat mereka akan menjelaskan sedetail-detailnya kepada kita. Sekalian dengan update terakhir kehidupan pribadinya.

Setelah itu, bertanyalah tentang beberapa nama para sahabat Nabi SAW. Cukup yang populer saja. Seperti 10 orang 'asyarah mubasyirina fil jannah, siapa saja? Coba jelaskan apa yang mereka ketahui tentang profil dari nama-nama tersebut. Bisakah?

Share:

Agar Lelah menjadi Lillah..


Oleh; al-Ustadz H Hannan Putra, Lc, MA

Pengasuh Sekolah Komunitas Semut-Semut Payakumbuh.

Salah satu lelah yang dirahmati Allah SWT adalah lelahnya seorang ibu yang mengasuh anaknya. Ini termasuk salah satu diantara lelah yang dipuji, seperti; lelahnya seseorang mencari rezki yang halal untuk membiayai keluarganya, lelahnya seorang penuntut ilmu, lelahnya pejuang yang berjaga/ berperang di jalan Allah, lelahnya seseorang dalam ibadah, dan lelahnya para da'i/ ulama dalam berdakwah.

Beberapa wanita yang dinobatkan sebagai wanita mulia ternyata mayoritas mereka tidak lepas dari tugas mereka mengasuh anak. Sebagaimana Maryam binti Imran yang dalam kondisi sulit mengasuh dan membesarkan anaknya. Kelak anaknya tersebut menjadi seorang Nabi Ulul 'Azmi (kelompok Nabi pilihan) yakni Isa AS. Demikian juga Siti Aisiyah yang membesarkan anak angkatnya dalam tekanan dan kezhaliman Fir'aun suaminya. Anaknya tersebut pun kelak menjadi seorang Nabi Ulul 'Azmi pula, yakni Musa AS.

Hingga Khadijah binti Khuwailid yang mengasuh enam orang anak Nabi SAW. Begitu juga Fathimah az-Zahra putri kesayangan Nabi SAW. Sosok yang mengurusi rumah tangga dan membesarkan dua cucu kesayangan Nabi Hasan dan Husein, di tengah kondisi ekonomi yang sangat buruk.

Sampai di sini, ketahuilah wahai para ibu. Tugasmu mendidik dan membesarkan anak akan menjadikanmu wanita mulia di sisi Allah SWT. Seorang ibu yang sabar dalam mendidik putra-putrinya, menjalani itu semua sebagai "jihad" dan bernilai pahala sangat tinggi di sisi Allah, kelak berhak untuk "memanen" hasilnya. Ia akan mendapatkan pengabdian dari anaknya.

Inilah doa yang diajarkan al-Qur'an di surat al-Isra' ayat 24;

رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا 

"Wahai Tuhanku, rahmatilah mereka (orang tuaku) keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil."

Kalimat رَبَّيَانِي dalam ayat ini diambil dari kata tarbiyah, yang hari ini diterjemahkan dengan "pendidikan, perawatan, pengawasan, dst". Maksudnya, orang tua yang memberikan pendidikan, perawatan, pengawasan kepada anaknya ketika kecil, maka ia berhak mendapatkan rahmat dari Allah dan kebaktian dari anaknya kelak.

Pendidikan dan pengasuhan yang diberikan orang tua, sebagaimana dalam ayat ini, hanyalah sampai anak tersebut mencapai usia baligh. Proses pendidikan sampai anak menjelang baligh inilah yang urgent dan betul-betul harus diperhatikan. Ketika dia sudah baligh, ia bisa dimasukkan ke pesantren. Ia lebih memilih dunia dan teman-temannya dibanding orang tuanya. Mau tidak mau, siap tidak siap, orang tua sudah harus melepasnya. 

Maka ingatlah sekali lagi, wahai para orang tua. Anakmu hanya menjadi milikmu sampai dia baligh. Perhatikanlah pendidikannya, pengasuhannya, dan bekal untuk masa depannya. Sehingga ketika ia baligh, engkau dan anakmu sudah siap untuk "berpisah".

Diakhir tulisan ini, mari kita simak kisah si ibu hebat dalam mengasuh dan membesarkan anaknya. Kisah itu dituturkan si anak yang dikenang orang kehebatannya hingga hari ini. Ia adalah Imam Mazhab Hanbali, Ahmad bin Hanbal Rahmatullahu 'alaihi

حفظني أمي القران و انا ابن عشر سنين. و كانت توقظني قبل صلاة الفجر و تحمي لي ماء الوضوء فى ليالي بغداد الباردة، و تلبسني ملابسي ثم تتخمر و تتغطي بحجابها و تذهب معي إلى المسجد لبعد بيتنا عن المسجد..

"Ibuku sudah menjadikan aku hafal Al-Quran saat usiaku masih 10 tahun. Ia selalu membangunkanku sebelum shalat subuh dan memanaskan air untuk aku berwudhu, karena malam-malam kota Baghdad yang sangat dingin. Ia lalu memakaikan pakaianku. Kemudian ia memakai khimar/ cadar dan hijabnya untuk mengantarkanku ke masjid karena jarak rumah kami yang sangat jauh dari masjid."

Ulama besar dan Imam mazhab Ahmad bin Hanbal adalah hasil kerja keras seorang ibu yang luar biasa. Lalu, seberapa keraskah perjuangan kita untuk pendidikan anak-anak kita?

Share:

PEMBINA

PEMBINA

VIDEO TESTIMONI TOKOH

Ingin Balita Hafidz Qur'an, TAUD Semut-Semut Berikan Solusi

Payakumbuh - Tentu hal yang sangat membanggakan bagi orang tua jika anaknya bisa hafal Al-Qur'an. Apalagi hafalan Al-Qur'an tersebut...

Temukan di Facebook