Hafal Al-Quran di Usia Belia

Breaking News

  • Kunjungan Gubernur Sumbar ke Sekolah Semut-Semut

    Kunjungan Gubernur Sumatera Barat terpilih, H Mahyeldi Ansharullah ke Sekolah Komunitas Semut-Semut Payakumbuh, Sabtu (6/2/2021) membicarakan tentang konsep dan kurikulum sekolah Islam.

  • Menjadikan Balita Hafal 1 Juz dalam 4 Bulan

    Tahfidz Anak Usia Dini (TAUD) Sekolah Semut-Semut Payakumbuh membuktikan keberhasilan metode talqin untuk menghafal Al-Quran. Dalam acara haflah Laporan Akhir Semester, Senin (14/12/2020) lalu, para balita ini telah hafal juz 30 hanya dalam 4 bulan.

  • Kunjungan Kakek KH Tengku Zulkarnain ke Sekolah Semut-Semut

    Da'i Nasional yang juga Wasekjen MUI Pusat, KH Tengku Zulkarnain bertandang ke kampus Sekolah Semut-Semut Payakumbuh, Ahad (6/9/2020). Kepada wali murid, Dai Nasional tersebut berpesan agar terus membersamai anak-anak mereka menghafal Al-Quran sampai khatam 30 juz.

  • Mantan Rocker Derry Sulaiman Konser di Depan Murid Semut-Semut

    Da'i yang juga mantan rocker Ustadz Derry Sulaiman menyempatkan untuk hadir di Sekolah Semut-Semut Payakumbuh Ahad (18/10/2020). Di hadapan wali murid, Ustadz Derry bercerita bahwa ini pengalaman pertamanya 'manggung' dihadapan anak-anak balita.

  • Rihlah Keluarga Besar Sekolah Semut-Semut

    Keunggulan sekolah komunitas dilihat dari kekompakan para wali muridnya. Sebagaimana terlihat dalam rihlah di Obyek Wisata Syari'ah Torang Saribulan, Ahad (27/9/2020).

Kisah Telaga di Tengah Kampung

Alkisah, tersebutlah satu kampung yang berada di tengah gurun pasir yang sangat luas. Di kampung tersebut terdapat satu telaga. Airnya tak pernah habis walau musim berputar dan tahun berganti. Warga kampung tentunya sangat bergantung pada telaga yang menjadi satu-satunya sumber air di kampung tersebut.

Berbagai kisah penduduk kampung dengan telaga tersebut patut kita simak. Dimulailah kisah pertama dari sekelompok orang kampung yang menganggap diri mereka kaum intelektual. Mereka punya pemikiran, bahwa sudah saatnya warga kampung tak perlu lagi bergantung kepada telaga. Mereka mengemukakan gagasan tentang penyulingan air kotor menjadi air yang bisa layak diminum kembali. Ah! air kotor itu, kalau dikaji-kaji kan asal muasalnya tetap saja dari telaga.

Namun teori ini pun ternyata diterima sebahagian warga kampung. Alasannya, karena teori mereka ini terkesan elit dan intelek. Lihat saja, presentasinya mengetengahkan model air kemasan di galon-galon bermerek, lengkap dengan takaran komposisinya. 

Selanjutnya, mereka ini secara tegas menyatakan tidak lagi memerlukan adanya telaga di kampung itu. Walaupun pada kesudahannya, orang-orang ini tetap saja kembali ke telaga. Apa susahnya bagi mereka yang tinggal datang dan menimba air, mereka sudah bisa merasakan kesegaran air telaganya. Tidak perlu riset, kajian bertahun-tahun menjalani try and error. Jelas, air telaga lebih praktis!

Kemudian, ada pula kisah sekelompok warga kampung yang ingin melabeli telaga tersebut sebagai telaga milik kaumnya. Yang bisa mengambil air hanya dari kelompoknya saja. Akhirnya, kelompok di luar mereka tentu menjadi segan jika ingin mengambil air dari telaga itu.

Akhirnya dibuatlah satu kesepakatan, bahwa telaga adalah milik bersama. Tidak boleh dikuasai satu pihak. Jangan dilabeli dia dengan merek apapun. Barulah, fungsi telaga bisa kembali dirasakan oleh seluruh penduduk kampung.

Kemudian, ada pula kisah sekelompok orang-orang ningrat di kampung itu. Walaupun mereka yang butuh air, tapi inginnya mereka, telaga itu yang datang ke rumah mereka. Hehee, ini tentu saja mustahil. Bagaimana mungkin mengangkut telaga sebesar itu untuk bisa dipetantang-petenteng kesana-kemari. Maka diberilah tulisan di plang telaga tersebut dengan bahasa Arab. العلم يؤتى ولا يأتي

Pada akhirnya, kondisi telaga tersebut akan terlihat dari bagaimana warga kampung merawatnya. Bagi warga kampung yang merasakan betapa penting dan vitalnya keberadaan telaga, maka mereka merawat tepian telaga sebaik-baiknya. Sehingga mereka pun kondusif dan nyaman ketika mengambil airnya. 

Namun ada juga masyarakat yang tak ambil pusing. Tepian telaga mereka pun dipenuhi semak tak terawat. Akhirnya mereka jua yang susah ketika butuh air dari telaga. Bahkan katanya sampai ada kasus. Saking tingginya semak di tepian telaga itu, maka bersaranglah ular sehingga beberapa orang diantara mereka menjadi korban dipatok ular.

Oh ya, satu lagi! Dari seluruh kisah telaga ini, ternyata ada kisah yang paling mengerikan. Itulah kisah sekelompok orang dengan kedengkiannya yang ingin menaburkan racun ke dalam telaga. Ironisnya, warga kampung malah acuh tak acuh saja. "Sudahlah, kita tak usah ikut-ikut. Ini bukan urusan kita," pikir mereka.

Jika orang-orang jahat ini berhasil meracuni telaga, kira-kira apakah masih bisa penduduk kampung tersebut meminum airnya? Bagaimanakah nasib kampung itu jika tanpa kehadiran sumber air dari telaga itu?

Untuk kita ketahui. Telaga itu adalah ulama. Air telaga itu adalah ilmu. Dan penduduk kampung itu adalah kita.

Bonai, 6/6/2023

Share:

Poster Cabul

Oleh; H. Hannan Putra, Lc, MA*

*Pembina Sekolah Komunitas TAUD Semut-Semut Payakumbuh, Wakil Pimpinan Pesantren ICBS Payakumbuh, Ketua MUI Payakumbuh Selatan

Ketika kami belajar bahasa Arab di pesantren dulu, ada pembahasan tentang al-Asma'u al-Khamsah "الأَسْمَاءُ الخَمْسَةُ" (kata benda yang lima). Maksudnya, ada lima isim (kata benda) yang pada akhirnya terdapat huruf ilat sebagai tanda i’rab. Lima huruf itu adalah; أَبُو – أَخُوْ – حَمُو – فُوْ – ذُوْ

Seiring bertambahnya usia dan bobot pelajaran, belakangan kami baru tahu bahwa isim tersebut sebenarnya ada enam. Sebagaimana diterangkan dalam kitab Alfiyah Ibnu Malik, ada satu isim yang ternyata selama ini tidak disebut, yaitu هن. Jadi, isim itu bukan lagi khamsah (lima), tapi ada sittah (enam).

Pertanyaannya, mengapa هن tidak diajarkan saja sejak dari awal pembelajaran Bahasa Arab? Toh hanya menambah satu kata saja, bukan? Apa repotnya?

Dengan penuh hikmah, guru bahasa Arab kami pun menjelaskan. هن artinya (maaf) "kemaluan". Ketika diajarkan di usia kami yang masih belia, dikhawatirkan para santri akan menggunakan kata tersebut untuk kalimat yang tidak baik. Maka ditunda untuk mengajarkannya sampai para santri dewasa. Itupun, kata هن hanya diartikan "anu".

Lihatlah, betapa pola pendidikan Islam penuh dengan hikmah. Bahwa ilmu itu terintegrasi dan berimplikasi kepada akhlak. Kaidahnya, ilmu yang mulia juga harus disampaikan dengan bahasa yang mulia pula. Hal yang tabu dan memalukan jika terdengar kalimat-kalimat jorok dan cabul dalam lingkungan pendidikan Islam.

Hal yang sama juga kami dapati ketika belajar fiqh. Dari dahulu saya selalu menentang istilah jahiliyah yang mengatakan "fiqh bat*lanjang". Bahwa penggunakan bahasa yang vulgar, katanya, tidak bisa dihindari dalam pembahasan fiqh. Konyol saja ketika menyimak argumentasi mereka. Anda belum tahu saja. Coba datanglah ke pesantren kami. Kami bisa menyajikan pembahasan fiqh tanpa perlu menggunakan bahasa yang vulgar itu.

Bayangkan saja, ketika tumbuh di lingkungan pesantren, mendirikan pesantren, dan sekarang mengasuh pesantren. Maka menjadi hal yang mencengangkan dan memalukan bagi kami sebagai anak pesantren melihat demonstrasi yang dilaksanakan mahasiswa baru-baru ini. Saya tidak mengkritik esensi demonya, tapi bahasa yang ditampilkan mereka di poster-poster itu. 

Jujur saja, saya yang membacanya saja risih. Apa mereka yang menulis dan memamerkan poster-poster itu tidak malu, ya? Bahkan poster-poster cabul itu dengan bangganya diusung oleh gadis-gadis berhijab. Pertanyaan selanjutnya, sebegitu bobrok-kah kualitas pendidikan kita hari ini?

Share:

Perjuangan Para ibu Single Parent

Oleh, H. Hannan Putra, Lc, MA

Sekum MUI Kota Payakumbuh, Wakil Pimpinan Pesantren ICBS, Pembina Sekolah Komunitas Semut-Semut Payakumbuh

Saya sering ditanya ketika memberikan kajian parenting. Apakah pendidikan anak bisa berhasil jika tanpa kehadiran ayah? Apakah para ibu single parent masih punya harapan untuk melihat anak-anaknya berhasil? Mengingat saking pentingnya peran ayah dalam pendidikan, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Qayyim rahimahullah,

وأكثر الأولاد إنما جاء فسادهم من قبل الآباء ، وإهمالهم لهم وترك تعليمهم

"Potensi terbesar kerusakan anak kebanyakan berasal dari para ayah yang mengabaikan pendidikan anak-anaknya." Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maulud 1/229.

Memang perjuangan paling berat para ibu ketika harus membesarkan anaknya sendiri. Tapi jika ia berhasil dan sabar untuk menghadapi perjuangan berat itu, insya Allah usaha keras mereka akan berbuah manis.

Dalam banyak kisah keluarga dalam Al-Quran bisa kita tarik kesimpulan. Jika satu keluarga yang rusak adalah suami, maka si anak masih ada harapan untuk berhasil. Lihatlah kisah sang istri Siti Aisyiyah yang bersuamikan Fir'aun. Anaknya, Musa bahkan menjadi salah seorang Nabi ulul 'azmi.

Demikian juga Maryam, wanita pilihan dan mulia dengan kesuciannya. Maryam membesarkan putranya Isa, yang kelak juga akan menjadi seorang Nabi Ulul 'Azmi. Bahkan, Maryam sebagai salah satu diantara 4 wanita terbaik sepanjang masa juga tumbuh besar dari pendidikan seorang ibu yang single parent. Sang ibu, Siti Hana membesarkan putrinya seorang diri karena suaminya Imran sudah meninggal dunia. 

Jadi, ada banyak kisah para ibu single parent dalam Al-Quran yang bisa kita jadikan inspirasi. Ada yang single parent disebabkan karena si suami kufur, meninggal, atau terpisah dalam waktu yang sangat lama. Katakanlah keluarga Nabi Ibrahim AS yang pernah berpisah dengan anak istrinya dalam waktu sangat lama. Ia diperintahkan Allah menuju Palestina sesaat setelah Istrinya bersalin. Ketika ia pulang ke Makkah, anak yang dahulu masih merah ditinggalkannya kini sudah tumbuh menjadi anak-anak.

Keluarga Ibrahim disebut al-Quran sebagai salah satu keluarga terbaik dalam Al-Qur'an. Bahkan sampai-sampai Nabi Muhammad SAW meminta agar Allah SWT memberkahi keluarganya sebagaimana keluarga Ibrahim diberkahi. Firman Allah SWT,

اِنَّ اللّٰهَ اصۡطَفٰۤى اٰدَمَ وَنُوۡحًا وَّاٰلَ اِبۡرٰهِيۡمَ وَاٰلَ عِمۡرٰنَ عَلَى الۡعٰلَمِيۡنَۙ

"Sesungguhnya Allah telah memilih Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim sekeluarga, dan Imran sekeluarga dari seluruh alam." (QS Ali Imran: 33).

Para ummahat rahimakunnallah.

Akan berbeda kondisinya jika dalam keluarga tersebut yang rusak adalah istri. Kesimpulan saya, pendidikan anak sudah sangat susah untuk diselamatkan. Allah SWT memberikannya perumpamaan dalam Al-Quran,

ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ٱمْرَأَتَ نُوحٍ وَٱمْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَٰلِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ ٱللَّهِ شَيْـًٔا وَقِيلَ ٱدْخُلَا ٱلنَّارَ مَعَ ٱلدَّٰخِلِينَ 

"Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami. Lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah. Dan dikatakan (kepada keduanya), "Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)". (QS at-Tahrim: 10).

Istri Nuh dan Istri Luth sama-sama bersuamikan orang shaleh. Ketika kedua istri tersebut rusak, maka anak-anak mereka juga tidak selamat. Sebagaimana anak Nabi Nuh yang dikisahkan Al-Quran,

وَهِىَ تَجۡرِىۡ بِهِمۡ فِىۡ مَوۡجٍ كَالۡجِبَالِ وَنَادٰى نُوۡحُ اۨبۡنَهٗ وَكَانَ فِىۡ مَعۡزِلٍ يّٰبُنَىَّ ارۡكَبْ مَّعَنَا وَلَا تَكُنۡ مَّعَ الۡكٰفِرِيۡنَ‏ قَالَ سَاٰوِىۡۤ اِلٰى جَبَلٍ يَّعۡصِمُنِىۡ مِنَ الۡمَآءِ‌ؕ قَالَ لَا عَاصِمَ الۡيَوۡمَ مِنۡ اَمۡرِ اللّٰهِ اِلَّا مَنۡ رَّحِمَ‌ۚ وَحَالَ بَيۡنَهُمَا الۡمَوۡجُ فَكَانَ مِنَ الۡمُغۡرَقِيۡنَ‏

"Dan kapal itu berlayar membawa mereka ke dalam gelombang laksana gunung-gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, ketika dia (anak itu) berada di tempat yang jauh terpencil, "Wahai anakku! Naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir. Dia (anaknya) menjawab, "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah!" (Nuh) berkata, "Tidak ada yang melindungi dari siksaan Allah pada hari ini selain Allah yang Maha Penyayang." Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka dia (anak itu) termasuk orang yang ditenggelamkan." (QS Hud: 42-43).

Betapa susahnya bagi Nabi Nuh untuk menyelamatkan anaknya, walaupun akhirnya si anak tak juga dapat diselamatkan. Bahkan ketika azab sudah di depan mata sekalipun, si anak tetap kukuh tak mau mendengarkan sang bapak. Inilah potret yang juga banyak kita temukan hari ini.

Para ummahat rahimakunnallah.

Para ibu sebagai madrasatul ula (sekolah pertama) bagi anaknya menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan anak. Ketika ibu sudah rusak, maka rusaklah anak-anaknya. Namun ketika ibu baik, insya Allah anak-anaknya berpeluang untuk menjadi baik kendatipun tanpa peran dari ayah.

Lihatlah bagaimana perjuangan para ibu dari orang-orang besar di dunia. Seperti perjuangan Ibunya Imam asy-Syafii. Sang ibu hanyalah seorang janda sangat miskin yang tinggal di Gaza Palestina. Namun sang ibu hebat ini tidak menjadikan ekonomi dan kondisinya sebagai alasan untuk membiarkan anaknya gagal. Si ibu rela melakukan perjalanan ribuan kilometer dari Palestina menuju Hijaz (Makkah dan Madinah) demi pendidikan anaknya.

Ia tau harus berbuat apa untuk anaknya. Yaitu menitipkan pendidikan anaknya kepada orang shaleh. Jika hari ini misalkan dengan mencari pesantren atau sekolah agama terbaik untuk anaknya. Karena memang soal pintar dan shaleh bukanlah milik prerogatif orang kaya saja.

Perjuagannya belum berakhir ketika sudah sampai di Hijaz. Ternyata ia mesti berjuang lagi ketika sang anak ditolak untuk masuk sekolahnya Imam Malik di Madinah. Ia pun sampai harus menemui amir (Gubernur) Makkah agar diberi rekomendasi untuk masuk sekolah Imam Malik. Bayangkan saja, melintasi gurun pasir sejauh 500 Km pulang pergi dari Makkah ke Madinah hanya agar anaknya diterima bersekolah bersama Imam Malik. Tentu saja, waktu itu belum ada pesawat, bus, atau kereta cepat.

Suatu ketika, sang anak datang memeluk ibunya. Syafi'i kecil mengadu, bahwa ia tak bisa masuk kelas karena di kelas tersebut terbatas untuk orang-orang kaya saja. Mereka sangat miskin untuk bisa membayar uang sekolah.

Sang ibu tak pernah kehabisan akal. "Gampang itu, nak. Kamu duduk saja di luar kelas. Suara gurumu kan bisa engkau dengar walaupun duduk di luar, kan?" Akhirnya Syafi'i kecil pun duduk di luar dan tetap dapat mengikuti pelajaran.

Apapun masalah pendidikan ternyata bisa diselesaikan jika memang ada keinginan. Subhanallah! kita yang hari ini hidup dizaman serba bergelimangan sarana prasarana. Ada internet, kelas gratis, dsb. Tapi rumit sekali bagi kita hari ini menuntut ilmu.

Suatu ketika, di kelas imam Syaf'i tidak kedatangan guru. Para murid di kelas kebingungan. Akhirnya mereka meminta seorang anak yang mengikuti pelajaran di luar kelas untuk menjelaskan pelajaran. Si anak miskin itulah yang menjadi asisten dosen dan membantu teman-temannya memahami pelajaran. Itulah Syafi'i kecil yang kelak akan menjadi imam besar.

Para ummahat rahimakunnallah.

Lihat pula seorang imam besar yang berguru kepada Imam Syafi'i. Ia adalah Imam Ahmad bin Hanbal Rahmatullahu 'alaihi yang konon kabarnya memiliki hafalan hadist terbanyak yakni 1 juta hadist. Ia pernah bertutur,

حفظني أمي القران و انا ابن عشر سنين. و كانت توقظني قبل صلاة الفجر و تحمي لي ماء الوضوء فى ليالي بغداد الباردة، و تلبسني ملابسي ثم تتخمر و تتغطي بحجابها و تذهب معي إلى المسجد لبعد بيتنا عن المسجد..

"Ibuku sudah menjadikan aku hafal Al-Quran saat usiaku masih 10 tahun. Ia selalu membangunkanku sebelum shalat subuh dan memanaskan air untuk aku berwudhu, karena malam-malam kota Baghdad yang sangat dingin. Ia lalu memakaikan pakaianku. Kemudian ia memakai khimar/ cadar dan hijabnya untuk mengantarkanku ke masjid karena jarak rumah kami yang sangat jauh dari masjid."

Manakah ibu yang hari ini menghafalkan anak-anaknya Al-Quran sehingga bisa khatam di usia 10 tahun? Manakah ibu yang hari ini setiap hari mengantarkan anaknya shalat subuh ke masjid? Manakah ibu yang seperti itu hari ini? Lantas kita berharap akan muncul keajaiban bahwa anak-anak kita akan bisa seperti imam Ahmad bin Hanbal?

Share:

Belajar dan Bermain (Part1)

Oleh H. Hannan Putra, Lc, MA Pembina Sekolah Komunitas Semut-Semut Payakumbuh

"Tidaklah redup peradaban Islam melainkan setelah bersinarnya para artis." Dr Tariq Suwaidan, al-Andalus at-Taarikh al-Mushawwar.

Pakar sejarah Islam asal Kuwait, Dr Tariq Suwaidan menjelaskan kepada kita tentang faktor jatuhnya peradaban Islam. Yakni, ketika dunia hiburan mengambil alih dunia pendidikan, dan para artis menggantikan posisi para ulama.

Lebih lanjut beliau yang juga seorang pengusaha kaya di Kuwait itu mengisahkan tentang Andalusia kepada kita. Andalusia yang menjadi cikal bakal majunya peradaban Eropa pernah delapan Abad bersinar pada masa keemasan Islam. 

Sinar negeri Andalusia menjadi redup setelah datangnya artis Az-Ziryat dengan model hiburannya. Setelah itu mulailah masjid-masjid ditinggalkan. Para pemuda dan pelajar dilenakan dengan hiburan hingga mereka menjadi malas berfikir dan mengasah otaknya.

Mari kita perhatikan pola belajar anak-anak di zaman Nabi hingga masa-masa keemasan Islam itu. Kita akan dapati satu konsep, bahwa hiburan tidak pernah bisa digabung dengan majelis Ilmu. Kurikulum kita memisahkan dua hal ini. Antara belajar dan hiburan. Ada saatnya mengaji, ada saatnya hiburan. Jelas saja dunia pendidikan Islam akan menentang slogan "bermain sambil belajar dan belajar sambil bermain".

Model pendidikan ini dipegang erat pada masa kejayaan peradaban Islam. Belajar itu serius. Nanti ada saatnya bermain. Tapi tidak ketika sedang belajar. Hingga tibalah model pendidikan dari Barat meracuni sekolah-sekolah Islam. Konsep Islam yang telah berabad-abad diterapkan itu digantikan oleh Maria Montessori dengan konsep fun learningnya. Habislah marwah kalangan ahli ilmu setelah itu.

Pernahkah kita bertanya tentang cita-cita kepada anak-anak sekarang? Ada degradasi dan disorientasi tentang cita-cita pada mereka. Saksikanlah, betapa mencengangkan jawaban mereka. Ada yang menjawab ingin menjadi selebgram, youtuber, atau influencer. Singkatnya, mereka ingin jadi artis, terkenal, dan memiliki banyak follower.

Betapa dunia hiburan saat ini telah merontokkan generasi masa depan kita. Ketika artis lebih mereka kenal dari ulama atau tokoh-tokoh agama. Coba saja tanya kepada mereka tentang beberapa nama artis. Dengan cepat mereka akan menjelaskan sedetail-detailnya kepada kita. Sekalian dengan update terakhir kehidupan pribadinya.

Setelah itu, bertanyalah tentang beberapa nama para sahabat Nabi SAW. Cukup yang populer saja. Seperti 10 orang 'asyarah mubasyirina fil jannah, siapa saja? Coba jelaskan apa yang mereka ketahui tentang profil dari nama-nama tersebut. Bisakah?

Share:

Agar Lelah menjadi Lillah..


Oleh; al-Ustadz H Hannan Putra, Lc, MA

Pengasuh Sekolah Komunitas Semut-Semut Payakumbuh.

Salah satu lelah yang dirahmati Allah SWT adalah lelahnya seorang ibu yang mengasuh anaknya. Ini termasuk salah satu diantara lelah yang dipuji, seperti; lelahnya seseorang mencari rezki yang halal untuk membiayai keluarganya, lelahnya seorang penuntut ilmu, lelahnya pejuang yang berjaga/ berperang di jalan Allah, lelahnya seseorang dalam ibadah, dan lelahnya para da'i/ ulama dalam berdakwah.

Beberapa wanita yang dinobatkan sebagai wanita mulia ternyata mayoritas mereka tidak lepas dari tugas mereka mengasuh anak. Sebagaimana Maryam binti Imran yang dalam kondisi sulit mengasuh dan membesarkan anaknya. Kelak anaknya tersebut menjadi seorang Nabi Ulul 'Azmi (kelompok Nabi pilihan) yakni Isa AS. Demikian juga Siti Aisiyah yang membesarkan anak angkatnya dalam tekanan dan kezhaliman Fir'aun suaminya. Anaknya tersebut pun kelak menjadi seorang Nabi Ulul 'Azmi pula, yakni Musa AS.

Hingga Khadijah binti Khuwailid yang mengasuh enam orang anak Nabi SAW. Begitu juga Fathimah az-Zahra putri kesayangan Nabi SAW. Sosok yang mengurusi rumah tangga dan membesarkan dua cucu kesayangan Nabi Hasan dan Husein, di tengah kondisi ekonomi yang sangat buruk.

Sampai di sini, ketahuilah wahai para ibu. Tugasmu mendidik dan membesarkan anak akan menjadikanmu wanita mulia di sisi Allah SWT. Seorang ibu yang sabar dalam mendidik putra-putrinya, menjalani itu semua sebagai "jihad" dan bernilai pahala sangat tinggi di sisi Allah, kelak berhak untuk "memanen" hasilnya. Ia akan mendapatkan pengabdian dari anaknya.

Inilah doa yang diajarkan al-Qur'an di surat al-Isra' ayat 24;

رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا 

"Wahai Tuhanku, rahmatilah mereka (orang tuaku) keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil."

Kalimat رَبَّيَانِي dalam ayat ini diambil dari kata tarbiyah, yang hari ini diterjemahkan dengan "pendidikan, perawatan, pengawasan, dst". Maksudnya, orang tua yang memberikan pendidikan, perawatan, pengawasan kepada anaknya ketika kecil, maka ia berhak mendapatkan rahmat dari Allah dan kebaktian dari anaknya kelak.

Pendidikan dan pengasuhan yang diberikan orang tua, sebagaimana dalam ayat ini, hanyalah sampai anak tersebut mencapai usia baligh. Proses pendidikan sampai anak menjelang baligh inilah yang urgent dan betul-betul harus diperhatikan. Ketika dia sudah baligh, ia bisa dimasukkan ke pesantren. Ia lebih memilih dunia dan teman-temannya dibanding orang tuanya. Mau tidak mau, siap tidak siap, orang tua sudah harus melepasnya. 

Maka ingatlah sekali lagi, wahai para orang tua. Anakmu hanya menjadi milikmu sampai dia baligh. Perhatikanlah pendidikannya, pengasuhannya, dan bekal untuk masa depannya. Sehingga ketika ia baligh, engkau dan anakmu sudah siap untuk "berpisah".

Diakhir tulisan ini, mari kita simak kisah si ibu hebat dalam mengasuh dan membesarkan anaknya. Kisah itu dituturkan si anak yang dikenang orang kehebatannya hingga hari ini. Ia adalah Imam Mazhab Hanbali, Ahmad bin Hanbal Rahmatullahu 'alaihi

حفظني أمي القران و انا ابن عشر سنين. و كانت توقظني قبل صلاة الفجر و تحمي لي ماء الوضوء فى ليالي بغداد الباردة، و تلبسني ملابسي ثم تتخمر و تتغطي بحجابها و تذهب معي إلى المسجد لبعد بيتنا عن المسجد..

"Ibuku sudah menjadikan aku hafal Al-Quran saat usiaku masih 10 tahun. Ia selalu membangunkanku sebelum shalat subuh dan memanaskan air untuk aku berwudhu, karena malam-malam kota Baghdad yang sangat dingin. Ia lalu memakaikan pakaianku. Kemudian ia memakai khimar/ cadar dan hijabnya untuk mengantarkanku ke masjid karena jarak rumah kami yang sangat jauh dari masjid."

Ulama besar dan Imam mazhab Ahmad bin Hanbal adalah hasil kerja keras seorang ibu yang luar biasa. Lalu, seberapa keraskah perjuangan kita untuk pendidikan anak-anak kita?

Share:

Part 2: Orang Tua Visioner

Oleh; H. Hannan Putra, Lc, MA*

Kebiasaan guru di sekolah TAUD kami selalu bertanya dan berdiskusi dengan wali murid. Ya, seputar perkembangan hafalan Qur'an siswa di rumah. "Bagaimana muraja'ah Surat itu dan itu, Bunda?" "Apakah ada kendala dalam muraja'ah di rumah?". Dan seterusnya..

Ada jawaban khas dari wali murid yang sering kami dapati. "Alhamdulillah, zah. Anak kami sudah hafal surat ini dan itu. Untuk anak seusianya, itu aja udah hebat tu, zah," jawab si wali murid.

Memang luar biasa bagi masyarakat kita, ketika melihat anak yang baru berusia 5 tahun sudah hafal juz 29 dan 30. Tidak salah juga apa yang diucapkan si wali murid. Mengingat anak-anak seusianya masih sibuk main dan hanya hafal nyanyian yang diajarkan di sekolahnya.

Ini juga yang diilustrasikan Al-Qur'an, bahwa pendidikan itu ibarat bercocok tanam. Suatu saat, orang yang bercocok tanam tersebut akan sampai pada fase يعجب الزراع "mencengangkan petani yang menanamnya" (QS al-Fath:29) saking hebat dan dahsyatnya apa yang telah ditanamnya itu.

Namun kami khawatir, jika ucapan tersebut dijadikan simbol kepuasan wali murid untuk berhenti berjuang. Kepuasan ini dijadikan alasan agar tak lagi melanjutkan hafalan Qur'an anak-anaknya ke level selanjutnya.

"Kan udah hebat tu untuk anak seusianya. Jadi jangan terlalu dipaksa. Masa anak-anak adalah masanya bermain, kan?"

Kami sampaikan, ucapan ini benar tapi tidak pada tempatnya. Marilah kita simak kisah Hindun bintu 'Uqbah ketika dipuji oleh masyarakatnya, "anakmu ini kelak akan menjadi pemimpin kaumnya!"

Apa yang dalam fikiran orang tua ketika anaknya dielu-elukan orang akan menjadi pemimpin dalam kaumnya? Bagi kita, mungkin ini menjadi kebahagiaan dan kebanggaan.

Namun apa yang dirasakan Hindun ternyata tidak sama sekali. Ia malah marah dan berkata, "Celaka anakku! Jika dia hanya bisa menjadi pemimpin di kaumnya saja. Karena dia dipersiapkan untuk memimpin bumi."

Inilah visi seorang shahabiyah di zaman Nabi. Beginilah seorang ibu di zaman itu memprogram anaknya. Karena visi besar seorang ibu, anaknya, Mu'awiyah bin Abu Sufyan, benar-benar menjadi pemimpin hebat di masanya. Ialah Khalifah pertama dari Dinasti Bani Umayyah yang memimpin dengan kebijaksanaannya selama lebih dari 20 tahun.

Lihatlah bagaimana pujian-pujian para sahabat kepadanya. "Saya tidak melihat orang setelah Rasulullah SAW yang lebih pandai memimpin dari Mu'awiyah," ucap Ibnu Umar RA. "Saya tidak melihat seorang yang lebih arif tentang kenegaraan (setelah Rasulullah SAW) daripada Mu'awiyyah," puji Ibnu Abbas RA.

Jadi, anak yang hebat itu dilahirkan oleh ibu yang hebat pula. Duhai ibu, janganlah bercita-cita yang sederhana untuk anak kita. Apakah kita hanya menginginkan masa depan yang sederhana untuk anak kita?

Demikian juga dalam menghafal Al-Qur'an, cita-cita kita haruslah yang tertinggi. Bukan untuk hafal 1-2 juz saja, melainkan 30 juz. Ya! 30 juz harus hafal sebelum dia baligh.

Apakah menargetkan hafizh Qur'an sebelum baligh ini akan menjadikan anak kita stres? Kan sekarang banyak kajian, bahwa terlalu dini memasukkan anak ke sekolah justru akan menjadikannya stres dan kesusahan dalam mengikuti pelajaran.

Jawabannya, khusus untuk menghafal Al-Qur'an, sama sekali tidak akan menyusahkan atau membuat anak kita stres. Bahkan, tasmi' dan talqin al-Qur'an sudah bisa diberikan semenjak anak masih dalam kandungan ibunya. ما أنزلنا عليك القرآن لتشقى "Tidaklah Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an ini untuk membuatmu susah." (QS Thahaa:2).

Justru di usia sebelum baligh inilah, masa-masa emas seseorang untuk menghafal Al-Qur'an. Mari kita cermati hadist Nabi SAW berikut ini,

من حفظ القرآن وهو فتي السن خلطه الله بلحمه ودمه

Dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda, "Siapa yang sudah hafal Al-Qur'an padahal usianya masih belia, maka Allah SWT akan mencampurkan (Al-Qur'an itu) dengan darah dan dagingnya." (HR Baihaqi, sahih).

Ini yang kita sebut Al-Qur'an sudah mendarah daging. Insya Allah tidak terpisahkan lagi dengan dirinya. Inilah pentingnya, mengapa kita harus menjadikan mereka hafal Qur'an 30 juz sebelum baligh.

Apakah ini target berlebihan? Oh, tentu tidak. Ribuan tahun silam kurikulum tahfizh ini disusun untuk mencetak para huffazh 30 juz, dan sudah dijalankan orang di seluruh dunia. Mungkin kita saja yang baru tahu.

___________

*Pembina Sekolah Semut-Semut Payakumbuh, Wakil Pimpinan Pesantren ICBS Payakumbuh, Ketua MUI Payakumbuh Selatan, Direktur Pusat Riset dan Kajian Islam Al-Azhar Centre Sumatera Barat


Share:

Standarisasi Buta Huruf dalam Pendidikan Islam

Oleh; H. Hannan Putra, Lc, MA

Pembina Sekolah Komunitas Semut-Semut Payakumbuh, Wakil Pimpinan Pesantren ICBS Payakumbuh, Ketua MUI Payakumbuh Selatan, Peneliti dan Pengamat Pendidikan Islam


Firman Allah SWT,

وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لَا يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلَّا أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

"Dan diantara mereka itu ummi (buta huruf) tidak mengetahui kitab suci kecuali amaniy. dan sesungguhnya mereka (hanyalah) menduga-duga." (QS al-Baqarah: 78).

Ayat ini memberikan penjelasan kepada kita bagaimana defenisi buta huruf yang dimaksudkan dalam Al-Qur'an. Yakni,  لَا يَعْلَمُونَ (tidak mengetahui ilmunya) kecuali hanyalah sebatas "amaniy".

Tentu kita menyimak dulu bagaimana para ulama kita mendefenisikan "amaniy" tersebut. Salah satunya, sebagaimana diterangkan Imam al-Baghawi dalam tafsirnya Ma'alim at-Tanzil.

قَرَأَ أَبُو جَعْفَرٍ: «أَمَانِيَ»، بِتَخْفِيفِ الْيَاءِ، كُلَّ الْقُرْآنِ، حَذَفَ إِحْدَى الْيَاءَيْنِ تَخْفِيفًا، وقراءة العامّة بالتشديد، وهو جمع: أمنية وهي التلاوة، وقال اللَّهُ تَعَالَى: ﴿ إِلَّا إِذا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ ﴾ [الْحَجِّ: 52]، أَيْ: فِي قِرَاءَتِهِ، قَالَ أَبُو عبيدة: إلا تلاوة وقراءة عن ظهر القلب لا يقرؤونه مِنْ كِتَابٍ، وَقِيلَ: يَعْلَمُونَهُ حِفْظًا وقراءة

Abu Ja'far mengatakan, "Amaniy", dengan harakat dan cara membacanya (mematikan huruf "ya", dihilangkan salah satu huruf "ya", dibaca secara umum dengan tasydid) adalah jamak dari amaniyah yang berarti "bacaan". Sebagaimana firman Allah SWT, "Tidaklah ketika mereka mengangankan sesuatu, syaitan akan membisikkan kepada amaniyah mereka." (QS al-Hajj: 52). Maksud amaniyah dalam ayat ini adalah bacaaan.

Abu Ubaidah menambahkan, (tafsir إِلَّا أَمَانِيَّ) adalah "kecuali sebatas tilawah dan bacaan yang tidak menjiwai. Mereka tidak membacanya dari kitab suci. Dikatakan pula, mereka hanya mengetahui sebatas hafalan dan mampu membaca saja. [Ma'alim at-Tanzil, Imam Baghawi: 1/114-115].

Jika "amaniy" diartikan para ulama kita dengan kemampuan membaca bahkan hafalan, betapa tingginya standarisasi buta huruf dalam Islam. Bahkan, seorang yang sudah mampu membaca Al-Qur'an bahkan sudah hafal sekalipun, masih belum keluar dari golongan buta huruf.

Mari sekali lagi kita artikan QS al-Baqarah ayat 78, "Dan diantara mereka itu buta huruf, tidak mengetahui kitab suci kecuali amaniy (sekedar mampu membaca dan menghafal saja). Dan sesungguhnya mereka (hanyalah) menduga-duga."

Betapa jauhnya kita dari apa yang ditargetkan Al-Qur'an. Bahkan kemampuan membaca Al-Qur'an saja, masih banyak masyarakat kita yang belum bisa. Padahal banyak diantaranya yang sudah mencapai usia lansia. Namun belum juga mampu mengucapkan huruf-huruf hija'iyyah dengan benar. 

Apalah lagi menaikkan standar buta huruf ke level hafal. Padahal menurut Para Mufassir, yang sudah hafal Al-Qur'an 30 juz sekalipun, masih tergolong buta huruf jika belum memahami tafsir dari ayat-ayat yang mereka hafal.

Sekali lagi, betapa jauhnya standar pendidikan kita hari ini dari apa yang diberikan Al-Qur'an. Jika demikian, sudah berapa banyak sekolah, pesantren, bahkan perguruan tinggi yang sudah mengeluarkan orang dari buta huruf menurut standar Al-Qur'an?

Sejauh ini pesantren-pesantren kita yang diklaim sebagai sekolah Al-Qur'an, ternyata belum mampu menjamin tamatannya hafal Al-Qur'an 30 juz. Bahkan untuk keluar dari batas buta huruf saja, masih hal sangat berat untuk model pendidikan kita saat ini. Lalu dengan "pe-de" nya kita berangan-angan bahwa Islam akan bangkit dan jaya di tangan kita?

Share:

PEMBINA

PEMBINA

VIDEO TESTIMONI TOKOH

Ingin Balita Hafidz Qur'an, TAUD Semut-Semut Berikan Solusi

Payakumbuh - Tentu hal yang sangat membanggakan bagi orang tua jika anaknya bisa hafal Al-Qur'an. Apalagi hafalan Al-Qur'an tersebut...

Temukan di Facebook