Oleh, H. Hannan Putra, Lc, MA
Sekum MUI Kota Payakumbuh, Wakil Pimpinan Pesantren ICBS, Pembina Sekolah Komunitas Semut-Semut Payakumbuh
Saya sering ditanya ketika memberikan kajian parenting. Apakah pendidikan anak bisa berhasil jika tanpa kehadiran ayah? Apakah para ibu single parent masih punya harapan untuk melihat anak-anaknya berhasil? Mengingat saking pentingnya peran ayah dalam pendidikan, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Qayyim rahimahullah,وأكثر الأولاد إنما جاء فسادهم من قبل الآباء ، وإهمالهم لهم وترك تعليمهم
"Potensi terbesar kerusakan anak kebanyakan berasal dari para ayah yang mengabaikan pendidikan anak-anaknya." Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maulud 1/229.
Memang perjuangan paling berat para ibu ketika harus membesarkan anaknya sendiri. Tapi jika ia berhasil dan sabar untuk menghadapi perjuangan berat itu, insya Allah usaha keras mereka akan berbuah manis.
Dalam banyak kisah keluarga dalam Al-Quran bisa kita tarik kesimpulan. Jika satu keluarga yang rusak adalah suami, maka si anak masih ada harapan untuk berhasil. Lihatlah kisah sang istri Siti Aisyiyah yang bersuamikan Fir'aun. Anaknya, Musa bahkan menjadi salah seorang Nabi ulul 'azmi.
Demikian juga Maryam, wanita pilihan dan mulia dengan kesuciannya. Maryam membesarkan putranya Isa, yang kelak juga akan menjadi seorang Nabi Ulul 'Azmi. Bahkan, Maryam sebagai salah satu diantara 4 wanita terbaik sepanjang masa juga tumbuh besar dari pendidikan seorang ibu yang single parent. Sang ibu, Siti Hana membesarkan putrinya seorang diri karena suaminya Imran sudah meninggal dunia.
Jadi, ada banyak kisah para ibu single parent dalam Al-Quran yang bisa kita jadikan inspirasi. Ada yang single parent disebabkan karena si suami kufur, meninggal, atau terpisah dalam waktu yang sangat lama. Katakanlah keluarga Nabi Ibrahim AS yang pernah berpisah dengan anak istrinya dalam waktu sangat lama. Ia diperintahkan Allah menuju Palestina sesaat setelah Istrinya bersalin. Ketika ia pulang ke Makkah, anak yang dahulu masih merah ditinggalkannya kini sudah tumbuh menjadi anak-anak.
Keluarga Ibrahim disebut al-Quran sebagai salah satu keluarga terbaik dalam Al-Qur'an. Bahkan sampai-sampai Nabi Muhammad SAW meminta agar Allah SWT memberkahi keluarganya sebagaimana keluarga Ibrahim diberkahi. Firman Allah SWT,
اِنَّ اللّٰهَ اصۡطَفٰۤى اٰدَمَ وَنُوۡحًا وَّاٰلَ اِبۡرٰهِيۡمَ وَاٰلَ عِمۡرٰنَ عَلَى الۡعٰلَمِيۡنَۙ
"Sesungguhnya Allah telah memilih Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim sekeluarga, dan Imran sekeluarga dari seluruh alam." (QS Ali Imran: 33).
Para ummahat rahimakunnallah.
Akan berbeda kondisinya jika dalam keluarga tersebut yang rusak adalah istri. Kesimpulan saya, pendidikan anak sudah sangat susah untuk diselamatkan. Allah SWT memberikannya perumpamaan dalam Al-Quran,
ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ٱمْرَأَتَ نُوحٍ وَٱمْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَٰلِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ ٱللَّهِ شَيْـًٔا وَقِيلَ ٱدْخُلَا ٱلنَّارَ مَعَ ٱلدَّٰخِلِينَ
"Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami. Lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah. Dan dikatakan (kepada keduanya), "Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)". (QS at-Tahrim: 10).
Istri Nuh dan Istri Luth sama-sama bersuamikan orang shaleh. Ketika kedua istri tersebut rusak, maka anak-anak mereka juga tidak selamat. Sebagaimana anak Nabi Nuh yang dikisahkan Al-Quran,
وَهِىَ تَجۡرِىۡ بِهِمۡ فِىۡ مَوۡجٍ كَالۡجِبَالِ وَنَادٰى نُوۡحُ اۨبۡنَهٗ وَكَانَ فِىۡ مَعۡزِلٍ يّٰبُنَىَّ ارۡكَبْ مَّعَنَا وَلَا تَكُنۡ مَّعَ الۡكٰفِرِيۡنَ قَالَ سَاٰوِىۡۤ اِلٰى جَبَلٍ يَّعۡصِمُنِىۡ مِنَ الۡمَآءِؕ قَالَ لَا عَاصِمَ الۡيَوۡمَ مِنۡ اَمۡرِ اللّٰهِ اِلَّا مَنۡ رَّحِمَۚ وَحَالَ بَيۡنَهُمَا الۡمَوۡجُ فَكَانَ مِنَ الۡمُغۡرَقِيۡنَ
"Dan kapal itu berlayar membawa mereka ke dalam gelombang laksana gunung-gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, ketika dia (anak itu) berada di tempat yang jauh terpencil, "Wahai anakku! Naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir. Dia (anaknya) menjawab, "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah!" (Nuh) berkata, "Tidak ada yang melindungi dari siksaan Allah pada hari ini selain Allah yang Maha Penyayang." Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka dia (anak itu) termasuk orang yang ditenggelamkan." (QS Hud: 42-43).
Betapa susahnya bagi Nabi Nuh untuk menyelamatkan anaknya, walaupun akhirnya si anak tak juga dapat diselamatkan. Bahkan ketika azab sudah di depan mata sekalipun, si anak tetap kukuh tak mau mendengarkan sang bapak. Inilah potret yang juga banyak kita temukan hari ini.
Para ummahat rahimakunnallah.
Para ibu sebagai madrasatul ula (sekolah pertama) bagi anaknya menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan anak. Ketika ibu sudah rusak, maka rusaklah anak-anaknya. Namun ketika ibu baik, insya Allah anak-anaknya berpeluang untuk menjadi baik kendatipun tanpa peran dari ayah.
Lihatlah bagaimana perjuangan para ibu dari orang-orang besar di dunia. Seperti perjuangan Ibunya Imam asy-Syafii. Sang ibu hanyalah seorang janda sangat miskin yang tinggal di Gaza Palestina. Namun sang ibu hebat ini tidak menjadikan ekonomi dan kondisinya sebagai alasan untuk membiarkan anaknya gagal. Si ibu rela melakukan perjalanan ribuan kilometer dari Palestina menuju Hijaz (Makkah dan Madinah) demi pendidikan anaknya.
Ia tau harus berbuat apa untuk anaknya. Yaitu menitipkan pendidikan anaknya kepada orang shaleh. Jika hari ini misalkan dengan mencari pesantren atau sekolah agama terbaik untuk anaknya. Karena memang soal pintar dan shaleh bukanlah milik prerogatif orang kaya saja.
Perjuagannya belum berakhir ketika sudah sampai di Hijaz. Ternyata ia mesti berjuang lagi ketika sang anak ditolak untuk masuk sekolahnya Imam Malik di Madinah. Ia pun sampai harus menemui amir (Gubernur) Makkah agar diberi rekomendasi untuk masuk sekolah Imam Malik. Bayangkan saja, melintasi gurun pasir sejauh 500 Km pulang pergi dari Makkah ke Madinah hanya agar anaknya diterima bersekolah bersama Imam Malik. Tentu saja, waktu itu belum ada pesawat, bus, atau kereta cepat.
Suatu ketika, sang anak datang memeluk ibunya. Syafi'i kecil mengadu, bahwa ia tak bisa masuk kelas karena di kelas tersebut terbatas untuk orang-orang kaya saja. Mereka sangat miskin untuk bisa membayar uang sekolah.
Sang ibu tak pernah kehabisan akal. "Gampang itu, nak. Kamu duduk saja di luar kelas. Suara gurumu kan bisa engkau dengar walaupun duduk di luar, kan?" Akhirnya Syafi'i kecil pun duduk di luar dan tetap dapat mengikuti pelajaran.
Apapun masalah pendidikan ternyata bisa diselesaikan jika memang ada keinginan. Subhanallah! kita yang hari ini hidup dizaman serba bergelimangan sarana prasarana. Ada internet, kelas gratis, dsb. Tapi rumit sekali bagi kita hari ini menuntut ilmu.
Suatu ketika, di kelas imam Syaf'i tidak kedatangan guru. Para murid di kelas kebingungan. Akhirnya mereka meminta seorang anak yang mengikuti pelajaran di luar kelas untuk menjelaskan pelajaran. Si anak miskin itulah yang menjadi asisten dosen dan membantu teman-temannya memahami pelajaran. Itulah Syafi'i kecil yang kelak akan menjadi imam besar.
Para ummahat rahimakunnallah.
Lihat pula seorang imam besar yang berguru kepada Imam Syafi'i. Ia adalah Imam Ahmad bin Hanbal Rahmatullahu 'alaihi yang konon kabarnya memiliki hafalan hadist terbanyak yakni 1 juta hadist. Ia pernah bertutur,
حفظني أمي القران و انا ابن عشر سنين. و كانت توقظني قبل صلاة الفجر و تحمي لي ماء الوضوء فى ليالي بغداد الباردة، و تلبسني ملابسي ثم تتخمر و تتغطي بحجابها و تذهب معي إلى المسجد لبعد بيتنا عن المسجد..
"Ibuku sudah menjadikan aku hafal Al-Quran saat usiaku masih 10 tahun. Ia selalu membangunkanku sebelum shalat subuh dan memanaskan air untuk aku berwudhu, karena malam-malam kota Baghdad yang sangat dingin. Ia lalu memakaikan pakaianku. Kemudian ia memakai khimar/ cadar dan hijabnya untuk mengantarkanku ke masjid karena jarak rumah kami yang sangat jauh dari masjid."
Manakah ibu yang hari ini menghafalkan anak-anaknya Al-Quran sehingga bisa khatam di usia 10 tahun? Manakah ibu yang hari ini setiap hari mengantarkan anaknya shalat subuh ke masjid? Manakah ibu yang seperti itu hari ini? Lantas kita berharap akan muncul keajaiban bahwa anak-anak kita akan bisa seperti imam Ahmad bin Hanbal?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar