Oleh; H. Hannan Putra, Lc, MA*
*Pembina Sekolah Komunitas TAUD Semut-Semut Payakumbuh, Wakil Pimpinan Pesantren ICBS Payakumbuh, Ketua MUI Payakumbuh Selatan
Ketika kami belajar bahasa Arab di pesantren dulu, ada pembahasan tentang al-Asma'u al-Khamsah "الأَسْمَاءُ الخَمْسَةُ" (kata benda yang lima). Maksudnya, ada lima isim (kata benda) yang pada akhirnya terdapat huruf ilat sebagai tanda i’rab. Lima huruf itu adalah; أَبُو – أَخُوْ – حَمُو – فُوْ – ذُوْ
Seiring bertambahnya usia dan bobot pelajaran, belakangan kami baru tahu bahwa isim tersebut sebenarnya ada enam. Sebagaimana diterangkan dalam kitab Alfiyah Ibnu Malik, ada satu isim yang ternyata selama ini tidak disebut, yaitu هن. Jadi, isim itu bukan lagi khamsah (lima), tapi ada sittah (enam).
Pertanyaannya, mengapa هن tidak diajarkan saja sejak dari awal pembelajaran Bahasa Arab? Toh hanya menambah satu kata saja, bukan? Apa repotnya?
Dengan penuh hikmah, guru bahasa Arab kami pun menjelaskan. هن artinya (maaf) "kemaluan". Ketika diajarkan di usia kami yang masih belia, dikhawatirkan para santri akan menggunakan kata tersebut untuk kalimat yang tidak baik. Maka ditunda untuk mengajarkannya sampai para santri dewasa. Itupun, kata هن hanya diartikan "anu".
Lihatlah, betapa pola pendidikan Islam penuh dengan hikmah. Bahwa ilmu itu terintegrasi dan berimplikasi kepada akhlak. Kaidahnya, ilmu yang mulia juga harus disampaikan dengan bahasa yang mulia pula. Hal yang tabu dan memalukan jika terdengar kalimat-kalimat jorok dan cabul dalam lingkungan pendidikan Islam.
Hal yang sama juga kami dapati ketika belajar fiqh. Dari dahulu saya selalu menentang istilah jahiliyah yang mengatakan "fiqh bat*lanjang". Bahwa penggunakan bahasa yang vulgar, katanya, tidak bisa dihindari dalam pembahasan fiqh. Konyol saja ketika menyimak argumentasi mereka. Anda belum tahu saja. Coba datanglah ke pesantren kami. Kami bisa menyajikan pembahasan fiqh tanpa perlu menggunakan bahasa yang vulgar itu.
Bayangkan saja, ketika tumbuh di lingkungan pesantren, mendirikan pesantren, dan sekarang mengasuh pesantren. Maka menjadi hal yang mencengangkan dan memalukan bagi kami sebagai anak pesantren melihat demonstrasi yang dilaksanakan mahasiswa baru-baru ini. Saya tidak mengkritik esensi demonya, tapi bahasa yang ditampilkan mereka di poster-poster itu.
Jujur saja, saya yang membacanya saja risih. Apa mereka yang menulis dan memamerkan poster-poster itu tidak malu, ya? Bahkan poster-poster cabul itu dengan bangganya diusung oleh gadis-gadis berhijab. Pertanyaan selanjutnya, sebegitu bobrok-kah kualitas pendidikan kita hari ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar