Berbagai kisah penduduk kampung dengan telaga tersebut patut kita simak. Dimulailah kisah pertama dari sekelompok orang kampung yang menganggap diri mereka kaum intelektual. Mereka punya pemikiran, bahwa sudah saatnya warga kampung tak perlu lagi bergantung kepada telaga. Mereka mengemukakan gagasan tentang penyulingan air kotor menjadi air yang bisa layak diminum kembali. Ah! air kotor itu, kalau dikaji-kaji kan asal muasalnya tetap saja dari telaga.
Namun teori ini pun ternyata diterima sebahagian warga kampung. Alasannya, karena teori mereka ini terkesan elit dan intelek. Lihat saja, presentasinya mengetengahkan model air kemasan di galon-galon bermerek, lengkap dengan takaran komposisinya.
Selanjutnya, mereka ini secara tegas menyatakan tidak lagi memerlukan adanya telaga di kampung itu. Walaupun pada kesudahannya, orang-orang ini tetap saja kembali ke telaga. Apa susahnya bagi mereka yang tinggal datang dan menimba air, mereka sudah bisa merasakan kesegaran air telaganya. Tidak perlu riset, kajian bertahun-tahun menjalani try and error. Jelas, air telaga lebih praktis!
Kemudian, ada pula kisah sekelompok warga kampung yang ingin melabeli telaga tersebut sebagai telaga milik kaumnya. Yang bisa mengambil air hanya dari kelompoknya saja. Akhirnya, kelompok di luar mereka tentu menjadi segan jika ingin mengambil air dari telaga itu.
Akhirnya dibuatlah satu kesepakatan, bahwa telaga adalah milik bersama. Tidak boleh dikuasai satu pihak. Jangan dilabeli dia dengan merek apapun. Barulah, fungsi telaga bisa kembali dirasakan oleh seluruh penduduk kampung.
Kemudian, ada pula kisah sekelompok orang-orang ningrat di kampung itu. Walaupun mereka yang butuh air, tapi inginnya mereka, telaga itu yang datang ke rumah mereka. Hehee, ini tentu saja mustahil. Bagaimana mungkin mengangkut telaga sebesar itu untuk bisa dipetantang-petenteng kesana-kemari. Maka diberilah tulisan di plang telaga tersebut dengan bahasa Arab. العلم يؤتى ولا يأتي
Pada akhirnya, kondisi telaga tersebut akan terlihat dari bagaimana warga kampung merawatnya. Bagi warga kampung yang merasakan betapa penting dan vitalnya keberadaan telaga, maka mereka merawat tepian telaga sebaik-baiknya. Sehingga mereka pun kondusif dan nyaman ketika mengambil airnya.
Namun ada juga masyarakat yang tak ambil pusing. Tepian telaga mereka pun dipenuhi semak tak terawat. Akhirnya mereka jua yang susah ketika butuh air dari telaga. Bahkan katanya sampai ada kasus. Saking tingginya semak di tepian telaga itu, maka bersaranglah ular sehingga beberapa orang diantara mereka menjadi korban dipatok ular.
Oh ya, satu lagi! Dari seluruh kisah telaga ini, ternyata ada kisah yang paling mengerikan. Itulah kisah sekelompok orang dengan kedengkiannya yang ingin menaburkan racun ke dalam telaga. Ironisnya, warga kampung malah acuh tak acuh saja. "Sudahlah, kita tak usah ikut-ikut. Ini bukan urusan kita," pikir mereka.
Jika orang-orang jahat ini berhasil meracuni telaga, kira-kira apakah masih bisa penduduk kampung tersebut meminum airnya? Bagaimanakah nasib kampung itu jika tanpa kehadiran sumber air dari telaga itu?
Untuk kita ketahui. Telaga itu adalah ulama. Air telaga itu adalah ilmu. Dan penduduk kampung itu adalah kita.
Bonai, 6/6/2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar