Lelaki itu seorang Qibti, penduduk asli Mesir. Ia bukan datang untuk meminta sedekah atau bantuan pangan. Ia datang menuntut sesuatu yang lebih berharga dari emas: keadilan.
Kisah ini, meski sanad sejarahnya tak bisa dikategorikan tsabitah atau sahih mutlak, telah lama beredar di mimbar-mimbar. Bukan karena semua detailnya terverifikasi, tapi karena nilainya tegak lurus dengan prinsip Islam. Ia bukan sekadar kisah, tapi tamparan bagi penguasa yang lupa batas kuasanya.
Dari Lintasan Pacu Kuda ke Mimbar Keadilan
Di Mesir saat itu, sebuah pacuan kuda (asibaq) digelar. Putra gubernur Mesir, Muhammad bin Amru bin al-‘Ash, ikut serta, berhadapan dengan seorang pemuda Qibti. Lintasan berdebu itu menjadi saksi ketika kuda Qibti melesat lebih cepat, meninggalkan kuda sang pangeran.
Kekalahan itu tidak ia terima. Dalam amarah yang membutakan, ia mengayunkan cambuk kudanya — cetak! — mendarat di punggung lawannya. Alasannya sederhana: ia anak gubernur. Dan dalam pikirannya, itu memberinya hak untuk berlaku sewenang-wenang.
Sang ayah Qibti marah, tetapi ia tahu, melawan anak gubernur di Mesir sama saja melawan kekuasaan. Maka ia memutuskan berjalan jauh — dari Mesir ke Madinah — untuk mengadu kepada Amirul Mukminin, Umar bin Khattab.
Surat Pemanggilan Sang Gubernur
Umar mendengar kisah itu. Sorot matanya yang tajam menandakan keputusan bulat: Amru bin al-‘Ash dan putranya harus datang ke Madinah. Tidak ada kekuasaan yang cukup besar untuk menghalangi panggilan seorang khalifah yang adil.
Di hadapan Umar, saksi-saksi berbicara. Fakta terungkap. Umar lalu memberikan cambuk itu kepada pemuda Qibti.
“Jarridhu min tsiyabihi wadhribhu kama dharabak” katanya, “lepaskan pakaiannya dan pukullah ia sebagaimana ia memukulmu”
Cambuk itu mendarat. Suara yang terdengar bukan hanya cambuk mengenai kulit, tapi denting keadilan yang menembus ruang. Umar melanjutkan, “Kalau engkau ingin memukul ayahnya, Amru bin al-‘Ash, aku tidak akan menghalangimu. Karena putranya berani memukulmu hanya karena kekuasaan bapaknya.”
Amru bin al-‘Ash menunduk. Lalu Umar, dengan suaranya yang tegas namun penuh makna, mengucapkan kalimat yang melintasi zaman:
متى استعبدتم الناس وقد ولدتهم أمهاتهم أحرارًا
“Sejak kapan kalian memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka?”
Kata-kata ini, bagi Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa — Ketua Umum MUI Sumatera Barat — adalah inti dari kemerdekaan hakiki.
Kemerdekaan: Hak dari Langit
Bulan Agustus di Indonesia selalu penuh dengan kata “merdeka”. Dari pidato kenegaraan hingga lomba balap karung, dari spanduk merah putih hingga lagu perjuangan di sekolah-sekolah. Tapi Buya mengingatkan: kemerdekaan sejati bukan hadiah manusia, melainkan hak bawaan yang diberikan Allah sejak awal penciptaan.
“Laqad karramna bani Adam,” begitu firman Allah. Dia memuliakan anak cucu Adam, dan kemerdekaan adalah bagian dari kemuliaan itu. Tidak ada kemerdekaan tanpa kemuliaan, dan tidak ada kemuliaan tanpa kemerdekaan.
Maka siapa pun yang merampas kemerdekaan orang lain, sesungguhnya sedang menentang keputusan Allah. Inilah mengapa, menurut Buya, perjuangan kemerdekaan adalah perjuangan menegakkan hak asasi yang ditetapkan langsung oleh Pencipta.
Namun, penjajahan tak selalu datang dari luar. Ada penjajahan yang lebih licik: lahir dari bangsa sendiri, berbicara dengan bahasa kita, bahkan menyanyi lagu kebangsaan yang sama. Penjajahan ini bisa berbentuk kekuasaan yang memihak, hukum yang timpang, atau kebijakan yang mematikan kebebasan beribadah.
Merdeka di Ranah Minang: Perjuangan Berbeda
Di banyak daerah di Nusantara, perlawanan terhadap penjajah dimotori oleh raja-raja yang mempertahankan tahta. Di Minangkabau, justru para ulama yang pertama kali memanggul senjata. Mereka bukan pemilik istana, bukan bangsawan. Mereka adalah manusia yang sadar bahwa mereka hanya boleh menjadi hamba Allah.
Sejarah mencatat, ada penguasa Minangkabau yang justru menyerahkan sebagian wilayah kepada Inggris dan Belanda demi kepentingan politik. Tetapi ulama-ulama menolak tunduk.
Bagi mereka, tanah ulayat bukan milik pribadi atau nenek moyang semata. Ia adalah amanah dari Allah. Tugas manusia hanyalah menjaga, bukan menjual. Inilah yang membuat perjuangan orang Minang bukan sekadar perjuangan politik, melainkan perjuangan nilai.
Buya mengingatkan, kemerdekaan yang dicita-citakan orang Minang adalah kemerdekaan hakiki: bebas dalam beribadah, bebas menegakkan tauhid, bebas mendidik anak cucu dalam iman, tanpa intimidasi dari siapapun.
Penjajahan Gaya Baru
Buya juga mengkritik penjajahan bentuk baru: manusia yang “mempertuhankan” jabatan, harta, atau pujian. Mereka mengaku merdeka, padahal hatinya terikat oleh dunia.
“Merdeka itu,” katanya, “adalah ketika kita hanya menjadi hamba Allah. Kalau kita masih diperbudak oleh selain-Nya, itu bukan kemerdekaan, itu ilusi.”
Dan di sinilah peringatan kemerdekaan sering gagal. Ia menjadi seremoni tahunan yang meriah, tapi hampa. Di balik sorak lomba panjat pinang, ada rakyat yang haknya dirampas. Di balik parade bendera, ada hati yang terjajah oleh kepentingan.
Merdeka yang Diwariskan Ulama
Di akhir khutbahnya, Buya menutup dengan nada yang tenang namun tegas:
“Kalau ada yang menuduh orang Minang mabuk agama, terlalu berlebihan mempertahankan nilai, biarlah. Karena nenek moyang kami memang berjuang bukan demi tahta atau emas, tapi demi memastikan kami merdeka dalam tauhid.”
| Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar Ketum MUI Sumbar |
Kisah Umar bin Khattab dan pemuda Qibti yang dulu hanya terdengar sebagai riwayat kini hidup kembali di Ranah Minang. Ia bukan hanya pengingat masa lalu, tapi kompas untuk masa depan: bahwa merdeka adalah ketika cambuk tak lagi diayunkan sewenang-wenang, ketika hati tak lagi diperbudak dunia, dan ketika sujud hanya untuk Allah semata.







Tidak ada komentar:
Posting Komentar