Oleh; H. Hannan Putra, Lc, MA
Ketua MUI Payakumbuh Selatan, Pembina Sekolah Semut-Semut
Payakumbuh
Konsep tabayyun
yang diajarkan Islam mendidik umatnya agar terbiasa menerima informasi yang
otentik. Perlu ada proses klarifikasi dan faktualisasi untuk menguji keabsahan
suatu informasi yang diterima[1]. Tidak
hanya itu, orang si pemberi informasi pun perlu diteliti. Apakah dia tsiqqah
(dapat dipercaya). Dalam tradisi thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu), proses
ini klarifikasi ini dirangkum dalam ilmu Al-Jarh wa At Ta’dil.
Itu baru etika
dalam menerima suatu informasi, lebih-lebih lagi dalam menerima suatu ilmu. Seorang
thalib (pelajar) harus memperhatikan dari siapa ia mengambil ilmu[2]. Hanya
orang yang tsiqqah saja yang dapat diambil ilmunya. Betapa Imam Bukhari sangat
selektif dalam menerima hadist. Seorang yang ia dapati sedang mempermainkan
binatang, langsung divonis Sang Imam bahwa hadistnya dha’if (lemah).
Beliau mengajarkan kita, bahwa mengambil ilmu dari orang yang tidak tsiqqah
berakibat dha’ifnya ilmu yang diterima.
Sedemikian
tingginya sertifikasi seorang guru, yakni orang yang memberi ilmu. Lebih-lebih
lagi para pembuat kurikulum yang ilmunya menjadi rujukan dan acuan dari seluruh
guru. Harusnya, orang-orang di level ini adalah orang yang paling ‘alim dan
pakar dengan dunia pendidikan. Dalam hal ini tentu pihak yang paling
bertanggungjawab itu adalah Mentri Pendidikan bersama dengan orang-orang yang
meracik kurikulum di tingkat nasional.
Namun inilah
sayangnya. Dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang diluncurkan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ternyata menghilangkan frasa
agama[3].
Secara konstitusi saja, ini sudah bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945.
Bukankah pedoman wajib Peta Jalan Pendidikan Nasional adalah ayat 5 Pasal 31
UUD 1945?. Ingatkah poin pertama Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003
Sikdisnas menjelaskan secara eksplisit bahwa agama menjadi unsur integral di
dalam pendidikan nasional?
Tidak hanya
pelanggaran secara konstitusional, menghilangkan frasa agama berarti
mengkhianati amanat Pendidikan nasional yang diberikan para founding father
bangsa kita. Apakah sebenarnya yang terjadi di tingkat nasional? Mengapa
penyusunan Peta Jalan Pendidikan ini disusun secara sembunyi-sembunyi tanpa
melibatkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Kemendikbud dan juga partisipasi
publik?
Banyak sekali
persoalan besar di dunia pendidikan yang dianggap kecil. Sebaliknya, persoalan
kecil justru dibesar-besarkan. Soal satu kasus di SMK N 2 Padang yang berujung
keluarnya SKB 3 Menteri yang bak menembak lalat dengan Meriam. Kasus sangat
kecil ini harusnya selesai ditingkat waka kesiswaan atau paling tinggi tingkat
kepala sekolah. Mengapa harus tiga orang menteri pula yang mengurusinya?
Padahal, banyak
sekali kasus besar tingkat nasional yang diabaikan. Sadarkah kita, sekolahan sudah
setahun diliburkan? Lantas bagaimana efek kerusakan moral dari belajar daring
melalui smartphone? Bagaimana penanganannya? Bagaimana peningkatan kualitas
guru dan tenaga kependidikan? Kaum guru terus saja disibukkan dengan persoalan
administrasi RPP, silabus, laporan ini itu. Kami heran, ke mana arah pendidikan
kita hari ini?
Kami berfikir,
jika kerusakan ini dibiarkan, maka dha’iflah ilmu dan ijazah yang dikeluarkan
oleh institusi pendidikan. Sudah saatnya para alim-ulama dan pakar pendidikan Islam
mengambil tanggungjawab besar ini. Mereka harus berbuat sesuatu untuk
melahirkan kurikulum yang mengacu pada kerangka pendidikan para Salafus Shaleh.
Untuk menyelamatkan generasi kita di masa depan.
Syukron ilmunya ustad hanan. Moga kita diistikomahkan Allah
BalasHapusBarakallahu fikum wa hayakumullah..
BalasHapus